REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT) UGM menilai akan ada masa ketika Azis tidak bisa berkutik dengan berbagai bantahannya. Hal ini terkait keterangan Wakil Ketua DPR non-aktif Azis Syamsuddin sebagai saksi di sidang pengadilan Robin Pattuju dan Maskur Husain, Senin (25/10) lalu, yang berisi berbagai bantahan, terkait keterangan saksi lain.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zainur Rahman mengatakan memang hak semua orang yang menjadi tersangka atau terdakwa mengingkari berbagai tuduhan sesuai fakta yang disampaikan pihak lain kepadanya. Sama seperti Azis yang membantah mengenalkan Robin kepada mantan Wali Kota Tanjungbalai M. Syahrial dan mantan Bupati Kutai Rita Widyasari.
Dan itu bisa jadi memang bagian dari pembelaan yang bersangkutan, agar bisa melepaskan diri dari berbagai tuduhan dan jerat dakwaan yang diarahkan padanya. Zainur yakin KPK memiliki alat bukti yang sangat kuat, sehingga tidak perlu terlalu mendengarkan berbagai keterangan dan bantahan Azis di persidangan.
"Jika Azis Syamsuddin terus menerus melakukan bantahan dan begitu juga Robin dan Maskur, misalnya. Tentu akan ada cara lain dan alat bukti lain yang bisa jadi suatu saat membuat Azis tidak lagi bisa membantah adanya tindak pidana korupsi di dalamnya," kata Zainur kepada wartawan, Rabu (27/10).
Karena KPK, menurutnya, memiliki banyak kewenangan untuk mengumpulkan alat bukti yang bisa jadi sangat meyakinkan. Seperti berbagai bukti penyadapan, percakapan dan saksi saksi kunci yang lain. Dan semua alat bukti tersebut pasti akan dinilai oleh Hakim, dengan membandingkan keterangan bantahan Azis atau Robin dan Maskur.
"Mana dari bukti persidangan dan bukti yang dihadirkan yang justru memperkuat pembuktian tuduhan atau dakwaan. Jadi Hakim juga akan sangat mungkin menilai dari banyak alat bukti, bukan hanya dari bantahan di persidangan saja," ungkapnya.
Misalnya keterangan Azis yang banyak membantah keterangan Saksi sebelumnya. Tentu JPU di persidangan bisa kembali menghadirkan saksi-saksi tersebut, dan mengkonfrontir kembali keterangan Azis sekaligus menghadirkan alat buktinya. Begitu juga keterangan Azis bisa dinilai Hakim, apakah masih masuk akal atau tidak, dengan realitas yang ada.
Sebagaimana Azis menyebut ia tidak akrab dengan Robin. Tapi ia bisa menerima tamu siapa saja yang datang ke rumah dinasnya, sehingga Robin bisa sangat mudah bertemu langsung dengannya. Padahal ia adalah pejabat negara. Dimana publik pasti tahu pejabat negara memiliki protokol dan standar penerimaan tamu sendiri, tanpa ada satu keperluan.
"Kalau misalnya ada keterangan dia tidak memperkenalkan, kemudian bagaimana Robin bisa hadir di rumah Azis dan berkenalan dengan M. Syahrial," papar Zainur.
Jadi bantahan-bantahan seperti ini, menurutnya akan justru membuka cara berpikir Hakim, apakah logis atau tidak dengan kronologis kejadian. Kenapa tiba-tiba Robin bisa segampang itu masuk ke rumah Azis, padahal ia tidak akrab dan bisa berkenalan dengan Syahrial di kediaman dinasnya.
Termasuk, Hakim juga akan menilai logis atau tidak bantahan Azis, yang tidak mengenalkan Rita ke Robin. Tetapi Robin bisa segampang itu masuk ke Lapas Tangerang, dan bisa bertemu Rita di lapas, saat pertemuan mantan Bupati Kutai itu bersama Azis. "Jadi bantahan-bantahan Azis tidak akan berpengaruh dengan pembuktian," tegasnya.
Nama Azis Syamsuddin kerap muncul dalam dakwaan terdakwa Stepanus Robin Pattuju dan maskur Husein. Dalam dakwaan itu, Stepanus dan Maskur berbagi uang suap dari Azis Syamsuddin serta beberapa orang lainnya. Azis Syamsuddin kemudian menjadi Tersangka terkait kasus yang menyeret dirinya ini.
Ketika Azis dihadirkan sebagai saksi, ia membantah hampir semua keterangan saksi yang pernah dihadirkan di sidang Robin dan Maskur. Sedangkan Robin dan Maskur Husain sudah didakwa menerima seluruhnya Rp 11,025 miliar dan 36 ribu dolar AS.
Secara rinci, Robin dan Maskur didakwa menerima dari Wali Kota Tanjungbalai, M Syahrial Rp 1,695 miliar, Azis Syamsudin dan Aliza Gunado Rp 3.099.887.000 dan 36 ribu dolar AS, Ajay Muhammad Priatna Rp 507,39 juta, Usman Effendi Rp 525 juta dan Rita Widyasari Rp 5.197.800.000.