Ahad 24 Oct 2021 13:17 WIB

YLKI Minta Kebijakan Penumpang Pesawat Wajib PCR Dibatalkan

Kebijakan mewajibkan PCR bagi calon penumpang pesawat dianggap diskriminatif.

Rep: Mabruroh/ Red: Mas Alamil Huda
Calon penumpang pesawat antre di area lapor diri sebelum melakukan penerbangan di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Sabtu (23/10). Kementerian Perhubungan mengeluarkan aturan terbaru terkait syarat penerbangan udara pada masa PPKM yakni penerbangan dari atau ke bandara di pulau Jawa dan Bali wajib menunjukkan surat keterangan negatif RT-PCR yang sampelnya diambil maksimal 2X24 jam sebelum keberangkatan.
Foto: ANTARA/FAUZAN
Calon penumpang pesawat antre di area lapor diri sebelum melakukan penerbangan di Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Sabtu (23/10). Kementerian Perhubungan mengeluarkan aturan terbaru terkait syarat penerbangan udara pada masa PPKM yakni penerbangan dari atau ke bandara di pulau Jawa dan Bali wajib menunjukkan surat keterangan negatif RT-PCR yang sampelnya diambil maksimal 2X24 jam sebelum keberangkatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi berharap pemerintah merevisi bahkan membatalkan kebijakan mewajibkan calon penumpang pesawat untuk melakukan tes PCR. Kebijakan itu dinilai diskriminatif karena pengguna transportasi lain hanya diwajibkan tes antigen.

"Kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat adalah kebijakan diskriminatif, karena sektor transportasi lain hanya menggunakan antigen, bahkan tidak pakai apapun," kata Tulus dalam pesan teks, Ahad (24/10).

Menurutnya, kebijakan diskriminatif ini juga telah memberatkan dan menyulitkan konsumen. Selain menyulitkan. kata Tulus, juga tercium bau-bau nakal nan kental dengan aura bisnisnya yang menguntuntungkan pihak-pihak tertentu.

"HET (harga eceran tertinggi) PCR di lapangan banyak diakali oleh provider dengan istilah 'PCR Ekspress' yang harganya tiga kali lipat dibanding PCR yang normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam," jelas dia.

Tulus meminta supaya pemerintah mau membatalkan kebijakan yang dinilainya jomplang tersebut. Jika tidak, Tulus menyarankan pemerintah merevisi, misalnya waktu pemberlakukan PCR menjadi 3x24 jam, mengingat di daerah-daerah lab PCR tidak semua bisa cepat.

"Atau cukup antigen saja, tapi harus sudah vaksin dua kali atau turunkan HET PCR menjadi kisaran Rp 200 ribu," terangnya.

"Jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya. Ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement