REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa pemberantasan korupsi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang mengalami masalah serius. Runtuhnya pemberantasan korupsi di Nusantara juga dinilai menjadi tanggung jawab pemerintah bersama DPR RI.
"Pemberantasan korupsi beberapa waktu ke belakang hanya sebatas lips service, sebatas tulisan di atas kertas tanpa ada implementasi yang konkrit," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana di Jakarta, Rabu (21/10).
Kurnia melanjutkan kalau DPR RI dan pemerintah merupakan dalang dari runtuhnya pengentasan korupsi di Indonesia. Dia mengatakan, kehancuran pemberantasan pidana rasuah dimulai saat eksekutif dan legislatif menyepakati revisi undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dia melanjutkan, revisi tersebut berujung pada lahirnya peraturan komisi (perkom) nomor 1 tahun 2021 yang memuan soal tes wawasan kebangsaan (TWK). Tes yang didapati penuh kecacatan administrasi itu selanjutnya berhasil menyingkirkan pegawai KPK yang kerap menangani perkara-perkara besar.
Kurnia mengingatkan kembali skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 berada di angka 37. Nilai tersebut turun tiga poin dibandingkan pada 2019 yang ada di angka 40.
Menurutnya, pemerintah perlu segera mengambil kebijakan konkrit terkait pemberantasan korupsi termasuk terhadap KPK. Dia mengatakan, hal ini perlu dilakukan demi mencegah terjadinya penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang diyakini akan kembali terjadi.
"Beberapa waktu ke depan kita akan menyaksikan kembali bagaimana IPK Indonesia di mana tahun 2020 sudah menurun dan sekarang belum ada kebijakan yang konkrit juga dari pemerintah soal penguatan KPK maka kami meyakini IPK kita akan anjlok diikuti dengan indeks demokrasi dan lain-lain," katanya.
Dia mengatakan, Penguatan KPK mejadi hal yang seharusnya menjadi perhatian karena selama ini telah terjadi penggembosan terhadap lembaga itu termasuk menyangkut independensi. Praktik ini makin terlihat di tengah polemik TWK yang berhasil mendepak 57 pegawai KPK.
"Bahwa ada gerakan dari partai politik yang sepakat dengan kebijakan yang melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Tentu ini bukan pekerjaan Pimpinan KPK semata tapi ada kontribusi dari pemerintah dan DPR," katanya.