REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melalui pengacara publiknya, Charlie Albajili, menyampaikan rapor merah empat tahun kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan. Menurut Charlie, dalam kertas tersebut ada 10 permasalahan yang berangkat dari kondisi faktual di Ibu Kota.
Termasuk, refleksi advokasi LBH Jakarta selama empat tahun masa kepemimpinan Anies di Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. "Pertama, buruknya kualitas udara Jakarta yang sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN) sebagaimana yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999," kata Charlie di Pendopo Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Senin (18/10).
Kedua, lanjut dia, adalah sulitnya akses air bersih bagi si miskin di Ibu Kota. Menurut Charlie, kualitas air yang buruk dengan jangkauan minim itu, juga menjadikan air di DKI sebagai harga air termahal di Asia Tenggara.
"Harga air di DKI Jakarta mencapai Rp 7.200 per M3 (kubik). Harga ini tentu saja bukan nilai yang kecil bagi kelompok masyarakat miskin kota yang berpenghasilan di bawah upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta," tuturnya.
Charlie menyebut, jika dihitung-hitung, masyarakat miskin kota Jakarta harus merogoh kantong Rp 600 ribu per bulan, hanya untuk mengakses air bersih.
Catatan rapor merah ketiga, lanjut dia, adalah penanganan banjir Jakarta yang masih belum mengakar pada beberapa penyebab banjir. Terlebih, banjir di DKI yang disebutnya bukan hanya dari satu tipe banjir saja. "Banjir hujan lokal, banjir hulu, banjir rob, banjir akibat gagal infrastruktur, dan banjir kombinasi," tuturnya.
Keempat, LBH menganggap, penataan kampung kota dengan pendekatan partisipatif atau community action plan (CAP) Anies masih jauh dari harapan. Padahal, CAP diklaim mereka merupakan rencana aksi penataan Kampung Kota dengan pendekatan partisipatif Warga.
"Anies Baswedan baru merealisasikan satu Kampung Susun di Kampung Akuarium, dan yang sedang direncanakan akan dibangun adalah Kampung Susun Cakung untuk warga Bukit Duri yang digusur tahun 2016," jelas Charlie.
Catatan kelima, menurut Charlie, adalah tumpulnya niat penyelenggaraan bantuan hukum di Ibukota. Menurut dia, wacana tentang Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta tentang Bantuan Hukum (Perda Bankum) sebenarnya telah ada sejak 2014.
Kendati demikian, berselang tujuh tahun berjalan hingga saat ini, tetap tidak ada kejelasan dari Pemprov DKI. Dia pun mempertanyakan komitmen Pemprov DKI.
"Angin segar pernah terhembus melalui adanya sosialisasi Perda Bankum pernah terselenggara pada tanggal 25 Juni 2020. Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta, Biro Hukum Prov DKI Jakarta, dan stakeholder lainnya telah menghadiri sosialisasi itu, namun tidak memiliki hasil yang signifikan," kata Charlie.
Pengacara LBH Jakarta lainnya, Jeanny Silvia, menambahkan, poin keenam rapor merah Anies adalah terkait sulitnya warga memiliki tempat tinggal di Jakarta. Dia memerinci, pada awal masa kepemimpinannya, Anies mengeluarkan kebijakan pembelian rumah DP 0 Rupiah ditargetkan terbangun 232 ribu unit rumah, yang dipangkas menjadi 10 ribu unit saja.
Perubahan kembali terjadi, saat target awal yang berpenghasilan Rp 3-4 juta berubah menjadi strata pendapatan Rp 14 juta. Ketujuh, lanjut Jeanny, belum ada bentuk intervensi yang signifikan dari Pemprov DKI terkait permasalahan yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Padahal wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan wilayah dengan karakteristik dan kompleksitas kerentanan yang jauh berbeda dengan masyarakat yang tinggal di wilayah lain.
Poin selanjutnya, kata Jeanny, adalah penanganan pandemi Covid-19 yang masih setengah hati. Terlebih, ketika wilayah Ibu Kota merupakan episentrum nasional penyebaran Covid-19
Rapor kesembilan, Jeanny menambahkan, adalah penggusuran paksa yang masih menghantui warga Jakarta. Ironisnya, perbuatan tersebut di mata LBH, dijustifikasi dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki perspektif hak asasi manusia (HAM).
Terakhir, adalah reklamasi yang masih terus berlanjut. Ketidakkonsistenan Anies mengenai penghentian reklamasi, kata Jeanny, dimulai pada 2018 saat ia menerbitkan Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (Pergub DKI( Jakarta Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
"Itu yang menjadi indikasi reklamasi masih akan berlanjut dengan pengaturan mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan reklamasi serta penyebutan pengembang reklamasi sebagai perusahaan mitra," ujar Jeanny.