Sabtu 16 Oct 2021 05:49 WIB

Mahfudz: Pilpres 2019, Pembelahan Politiknya Luar Biasa

Kekuatan politik tertentu manfaatkan sentimen agama yang mengganggu ummatan wasathan.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Sekjen Partai Gelora Mahfudz Siddiq
Foto: dok.Republika
Sekjen Partai Gelora Mahfudz Siddiq

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen Partai Gelora Mahfudz Siddiq menyebutkan, kekuatan politik tertentu memanfaatkan sentimen keagamaan. Hal itu dapat mengganggu terhadap konsep ummatan wasathan. Akibatnya, kata Mahfudz, muncul intervensi kepentingan politik di agenda keagamaan.

"Contoh ketika Pilpres 2019 lalu, pembelahan politiknya luar biasa. Bahkan, sampai ada perceraian akibat perbedaan pilihan capres. Jadi pernikahan yang merupakan wahana ibadah dalam Islam, bisa porak-poranda akibat pilihan politik. Ini akibat dari politisasi agama," ujar Mahfudz dalam webinar Moya Institute bertajuk 'Umat Islam Indonesia: Ummatan Wasathan' secara daring di Jakarta, Jumat (15/10).

Menurut dia, ummatan wasathan merupakan konsep masyarakat harmonis, moderat, dan berdiri di tengah sehingga dapat diterima oleh semua pihak. Mahfud menjelaskan, ada dua esensi tentang ummatan wasathan, yang pertama adalah kebaikan atau al khairiyah. Dan yang kedua adalah prinsip keadilan atau keseimbangan.

Sedikit saja bergeser dari dua nilai tersebut, sambung dia, akan menjauh dari masyarakat ummatan wasathan, bahkan bisa membuat umat Islam menjelma menjadi faktor yang destruktif. Menurut dia, penyimpangan dari prinsip ummatan wasathan terjadi bukannya hanya karena faktor politik, tetapi faktor pemahaman.

Terkait faktor pemahaman, Mahfudz mencontohkan, pengalaman tiga tahun lalu, ketika ia meminta pengurus mushala di dekat rumahnya mengecilkan volume pengeras suara karena di rumahnya ada balita sakit. "Namun isu yang muncul kemudian adalah ada 'orang politik' yang melarang azan di mushala, isu yang membuat saya harus memberi klarifikasi," ujar Mahfudz.

Persoalan pengeras suara itu, lanjut dia, menunjukkan dalam ummatan wasathan, diperlukan pemahaman keislaman yang baik, misalnya suatu mushala dengan speaker yang bersuara kencang itu ada di sebuah kampung yang cuma berisi 20 rumah dengan jarak berjauhan, maka hal itu baik.

"Namun bila kampung itu sudah berisi 200 keluarga dan gang-gang di situ sudah sempit, maka speaker yang kencang justru akan mengganggu sendi-sendi kehidupan. Ini satu contoh, betapa faktor pemahaman keislaman yang baik itu sangat penting," ujar Mahfudz.

Pengamat politik internasional Prof Imron Cotan menyatakan, Islam itu kompatibel dengan nasionalisme, kebangsaan, dan demokrasi. Indonesia, kata dia, bisa menjadi contoh bagaimana Islam bisa kompatibel dengan nasionalisme, kebangsaanm dan demokrasi.

"Dan sudah saatnya memang, Indonesia berani tampil sebagai pemimpin dunia Islam, di tengah kerusakan yang timbul akibat power politics negara-negara besar di negeri-negeri Muslim, seperti Afghanistan, Libya, Suriah, Irak, dan Yordania," ujar Imron.

Pengacara sekaligus politikus PDIP Kapitra Ampera menegaskan, umat pertengahan atau ummatan wasathan adalah doktrin yang ada dalam ajaran Islam. Namun, lanjut dia, harus dibedakan antara doktrin beragama dan perilaku beragama.

"Nah dalam konteks politik, Islam itu tidak bisa menjadi ideologi. Islam itu guidance of life. Islam itu adalah payung ideologi. Sehingga bila Islam itu menjadi ideologi, maka dia akan turun derajatnya," ujar Kapitra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement