REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei sikap publik terkait wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Salah satunya terkait isu kembalinya kewenangan MPR yang dapat memilih presiden.
Hasilnya, 87 persen publik menolak jika presiden dipilih oleh MPR. Alasannya, presiden adalah jabatan yang bertanggung jawab ke rakyat, karena ia dipilih langsung oleh rakyat.
"Hanya 10 persen warga yang setuju atau sangat setuju agar presiden dipilih oleh MPR, dan yang tidak tahu 3 persen," ujar Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas dalam rilis daring, Jumat (15/10).
Ia menjelaskan, masyarakat yang menolak presiden kembali dipilih oleh MPR meningkat dari hasil survei yang digelar SMRC pada Mei 2021. Pada bulan tersebut, 85 persen responden menolak presiden dipilih oleh MPR.
Tindak lanjut dari hasil survei itu, 84 persen masyarakat menyatakan jika masa jabatan presiden maksimal dua periode harus dipertahankan, sesuai dengan UUD 1945. Dengan masing-masing periode selama lima tahun.
"Yang ingin diubah 12 persen, yang tidak tahu 5 persen. Dari Mei 2021 ke September 2021, yang ingin ketentuan tersebut dipertahankan naik dari 74 persen menjadi 84 persen," ujar Sirojudin.
SMRC melakukan survei sejak 15 hingga 21 September 2021. Jumlah responden sebanyak 1.220 yang dipilih dengan metode multistage random sampling yang diwawancarai secara tatap muka.
Toleransi kesalahan atau margin of error sebesar 3,19 persen, pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Ketua MPR Bambang Soesatyo sebelumnya dijadwalkan hadir dalam diskusi tersebut, tetapi urung hadir hingga rilis survei tersebut dimulai.
Sebelumnya, anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menilai, wacana amandemen konstitusi bisa menjadi celah dan melebar pada wacana di luar PPHN. Seperti soal pemilihan presiden oleh MPR atau presiden 3 periode.
"Saat keran amendemen dibuka, maka di saat yang sama celah melebar pada wacana di luar PPHN," ujar Titi saat dihubungi, Kamis (19/8).
Namun, berkaca pada dicabutnya RUU Pemilu dari Prolegnas 2021 karena kekhawatiran proses perubahannya akan melebar. Maka, potensi melebarnya pembahasan merupakan sesuatu yang sama sekali tidak bisa dipastikan tidak akan terjadi.
"Demikian pula halnya dengan amendemen konstitusi yang pasti akan berhadapan dengan banyak kepentingan kelompok yang ada baik di parlemen maupun nonparlemen," ujar Titi.