Kamis 07 Oct 2021 15:12 WIB

Buruh Ancam Geruduk Kemenaker Tuntut Cabut Kepmenaker 104

Kepmenaker dinilai sudah berdampak dengan permintaan penurunan upah.

Rep: Febryan A/ Red: Agus raharjo
Tentara sedang menghalau pulang puluhan remaja tanggung yang datang usai massa mahasiswa dan buruh membubarkan diri dari aksi demonstrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di sekitar Patung Kuda, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (28/10). (Ilustrasi)
Foto: Republika/Febryan A
Tentara sedang menghalau pulang puluhan remaja tanggung yang datang usai massa mahasiswa dan buruh membubarkan diri dari aksi demonstrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di sekitar Patung Kuda, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (28/10). (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan buruh dari delapan serikat pekerja/buruh akan menggelar demonstrasi di kantor Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) pada 21 Oktober mendatang. Aksi ini untuk mendesak pencabutan Kepmenaker No. 104/2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Covid-19, yang dinilai merugikan para pekerja.

Aksi ini akan digelar delapan serikat pekerja/serikat buruh yang tergabung dalam kelompok Dialog Sosial Sektoral-Tekstil Garment Sandang Kulit (DSS-TGSL). Salah satu yang tergabung dalam kelompok itu adalah Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP TSK-SPSI).

"Kami akan melakukan aksi ke Kemenaker pada 21 Oktober untuk mendesak pencabutan Kepmenaker 104/2021," kata Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri pada FSP TSK - SPSI, Dion Untung Wijaya, dalam konferensi pers daring, Kamis (7/10).

Ia mengeklaim, perkiraan massa buruh yang akan mendatangi kantor Kemenaker mencapai ratusan orang. "Estimasi massa hanya kurang lebih 150 orang karena sedang masa pandemi," ujar Dion.

Dion menambahkan, jika aksi mereka tak digubris, maka pihaknya akan menggugat peraturan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). "Kami juga akan berkomunikasi dengan Komisi IX DPR RI terkait hal ini," ujarnya.

Dion Untung Wijaya, mengatakan, terdapat tiga ketentuan yang menjadi alasan penolakan atas Kepmenaker ini. Pada intinya, tiga poin itu memungkinkan negosiasi ulang antara pengusaha dan buruh secara individual. Bukannya, antara pengusaha dan serikat buruh.

Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan sejumlah ayat dalam Konvensi ILO. Pokok masalahnya, kata dia, proses negosiasi itu membahas isu vital seperti upah, tunjangan, dan pensiun dini. Seharusnya, negosiasi dilakukan dengan serikat buruh.

"Hal-hal demikian seharusnya tidaklah diserahkan pada buruh secara individual (yang) memiliki posisi tawar jauh lebih lemah dibanding pengusaha," kata dia.

Dion menambahkan, keberadaan Kepmenaker ini sudah berdampak kepada buruh. Sejumlah pabrik telah memanggil buruh secara individual untuk menyetujui penurunan upah atau penghapusan tunjangan. Padahal, aktivitas produksi di pabrik tetap berlangsung dengan skala produksi normal. Artinya, upah atau tunjangan buruh dikurangi saat beban kerja masih seperti biasa.

"Apabila (Kepmenaker ini) dibiarkan, tentu saja kekuatan serikat pekerja atau serikat buruh sebagai alat perjuangan buruh akan semakin melemah dan tingkat kesejahteraan kaum buruh makin merosot," kata Dion.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement