Jumat 01 Oct 2021 00:25 WIB

Pertanyaan Ahli Sejarah: Mengapa Soeharto tak Diculik PKI?

Padahal, pada saat terjadi G30S/PKI, Soeharto menjabat Pangkostrad.

Poster Proklamator RI Sukarno (kanan) bersama Presiden ke-2 RI Soeharto dipamerkan di ajang Milan Expo 2015 di Kota Milan, Italia (ilustrasi).
Foto:

Selain pertanyaan mengapa Soeharto tidak ikut diculik oleh PKI, mari kita ulas tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya menjadi korban PKI. Korban dari militer tersebut di antaranya enam jenderal TNI, dua pengawal serta putri seorang jenderal, dan seorang anggota kepolisian.

Berikut profil singkat tujuh pahlawan revolusi dan tiga korban PKI yang mendapat anugerah anumerta, serta anak jenderal yang menjadi korban, dikutip dari berbagai sumber:

1. Jenderal Ahmad Yani

Jenderal kelahiran Purworejo pada 19 Juni 1922 ini mengenyam pendidikan formal di HIS (sekolah setingkat SD), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/setingkat Sekolah Menengah Pertama) dan AMS (Algemne Middelberge School/setingkat Sekolah Menengah Atas).

Karier militer Jenderal Yani dimulai saat ia mengikuti wajib militer yang dicanangkan Pemerintah Hindia Belanda di Malang. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Ahmad Yani bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA).

Ahmad Yani mengantongi sederet prestasi di bidang militer. Ia pernah menahan Agresi Militer pertama dan kedua Belanda. Prestasinya semakin melejit usai memimpin pasukan melumpuhkan pemberontak DI/TII, Operasi Trikora di Papua Barat serta Operasi Dwikora menghadapi konfrontasi dengan Malaysia. Keberhasilan Ahmad Yani memiliki dalam berbagai operasi militer mengantarkannya menjadi Panglima Angkatan Darat.

Jenderal A. Yani menjadi sasaran G30S/PKI karena ia menolak usul PKI yang menginginkan pembentukan Angkatan Kelima yaitu dipersenjatainya buruh dan tani. Saat penculikan, pasukan Cakrabirawa yang dikomandoi Letkol Untung itu menembaki tubuh Jenderal Ahmad Yani hingga berlubang. Dengan tubuh yang penuh luka tembak, jenazahnya dibawa dan dibuang ke dalam sumur di Lubang Buaya.

photo
Tempat tertembaknya Jenderal Ahmad Yani di rumahnya yang kini menjadi Museum Sasmitaloka - (Ronggo Astungkoro/Republika)

 

2. Letjen Suprapto

Letjen Suprapto lahir di Purwokerto pada 2 Juni 1920 dan merupakan lulusan MULO dan AMS Yogyakarta. Ia pernah menjadi Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang, Staff Angkatan Darat di Jakarta, dan kembali ke Kementerian Pertahanan.

Pascapemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) padam, Suprapto dipindah ke Medan menjadi Deputi Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatera.

Suprapto adalah salah satu Perwira Tinggi yang berseberangan dengan pemikiran pentolan PKI, DN Aidit yang ngotot ingin mempersenjatai buruh dan tani dengan membentuk Angkatan Kelima.

3. Letjen MT Haryono

Jenderal bintang tiga ini lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924. Ia menimba ilmu di ELS (setingkat sekolah dasar), dan HBS (setingkat sekolah menengah umum) serta Ika Dai Gakko (sekolah kedokteran di masa pendudukan Jepang) di Jakarta. Namun, tidak menyelesaikan pendidikan kedokteran itu.

MT Haryono dikenal sebagai orang yang sangat cerdas karena fasih berbicara sejumlah bahasa asing, seperti Belanda, Inggris, dan Jerman. Berkat kemahirannya dalam berbahasa, MT Haryono sering ditunjuk untuk berada di garis depan meja perundingan. Seperti ketika Konferensi Meja Bunda (KMB), Haryono ditunjuk sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.

Sebelum bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Haryono sudah aktif berjuang dengan para pemuda mempertahankan kemerdekaan. Ia juga vokal menentang PKI dan kroninya.

4. Letjen Siswondo Parman

Jenderal kelahiran Wonosobo, 4 Agustus 1918 ini merupakan perwira tinggi lainnya yang menjadi korban PKI lantaran mengetahui semua rencana dan gerak-gerik PKI. Sebagai tentara intelijen, S Parman dekat dengan PKI dan banyak mengetahui kegiatan rahasia PKI. Namun, ia menolak bergabung dengan PKI karena menolak paham komunis.

Mirisnya, yang memasukkan nama S Parman dalam daftar sasaran pembunuhan PKI adalah kakaknya sendiri, Ir Sakirman. Sakirman yang saat itu merupakan salah satu petinggi PKI sering berselisih paham dengan adiknya. Pertengkaran kakak beradik itu pun berujung dengan direnggutnya nyawa S Parman dalam G30S/PKI.

5. Mayjen D I Pandjaitan

Pria kelahiran Balige, Sumatra Utara pada 19 Juni 1925 ini adalah salah satu otak lahirnya Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bersama pemuda lain, ia membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Kariernya meroket semenjak aktif di TKR. Dimulai dari komandan batalyon, kariernya merangkak dengan menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi, Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra dan menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Terakhir, ia menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Pada tengah malam tanggal 1 Oktober, sekelompok anggota G30S/PKI menyergap rumah D.I Pandjaitan. Satu persatu pelayan dan ajudannya dihabisi. Tubuh Mayjen D.I Pandjaitan yang tegap pun diberondong peluru dan jenazahnya diseret ke Lubang Buaya.

6. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo

Pada Jumat dini hari, 1 Oktober 1965, sejumlah pasukan Cakrabirawa memaksa masuk ke dalam rumah Mayjen Sutoyo Siswomiharjo. Mereka mengatakan kepada Sutoyo bahwa mayjen tersebut dipanggil oleh Presiden Soekarno. Kelompok tersebut kemudian menyeretnya ke markas PKI di Lubang Buaya. Di sana, Sutoyo dibunuh dan jenazahnya dibuang ke dalam sumur bersama lima jenderal lainnya.

Mayjen Sutoyo lahir di Kebumen pada 28 Agustus 1922. Pada 1945, Sutoyo bergabung dengan militer sebagai Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal Polisi Militer.

Karier di dunia militernya dimulai dengan menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto, Komandan Polisi Militer. Kemudian ia dipercaya menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama. Sayangnya, Sutoyo dituding ikut membentuk Dewan Jenderal sehingga namanya masuk dalam daftar perwira tinggi yang harus dihabisi.

7. Kapten Pierre Tendean

Perwira yang baru berusia 26 tahun itu tewas diberondong peluru pasukan Cakrabirawa. Ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution itu menjadi martir ketika atasannya menjadi incaran PKI untuk dibunuh.

Kapten kelahiran 21 Februari 1939 memulai karier sebagai intelijen. Ia pernah ditugaskan menjadi mata-mata ke Malaysia selama konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Pada peristiwa G30S, Pierre yang berusaha melindungi keluarga Jenderal Nasution, ditangkap dan dibawa pasukan PKI ke Lubang Buaya. Di Lubang Buaya ia dibunuh dan dimasukan ke sumur tak terpakai bersama 6 Perwira Tinggi Angkatan Darat lainnya.

photo
Pengunjung melihat diorama Jenderal AH Nasution di Museum Jenderal Besar AH Nasution, Jakarta, Senin (30/9/2019). Museum yang awalnya merupakan rumah Jenderal AH Nasution itu merupakan saksi bisu peristiwa G 30 S/PKI yang menewaskan putri Nasution Ade Irma Suryani dan ajudannya Lettu Pierre Tendean. - (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

 

 

8. Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo.

Korban kekejaman PKI di luar Jakarta adalah Brigjen Katamso. Jenderal kelahiran Sragen, 5 Februari 1923 itu diculik saat bertugas di Yogyakarta.

Brigjen Katamso termasuk perwira TNI yang sangat tidak menyetujui keberadaan PKI, sehingga ia menjadi korban operasi pembantaian tersebut.

Ia tewas setelah tubuhnya dipukuli dengan kunci mortir motor. Tubuhnya dimasukkan ke dalam sebuah lubang yang telah disiapkan di sekitar Kentungan, Sleman, Yogyakarta. Jenazahnya baru ditemukan beberapa hari kemudian tepatnya 21 Oktober 1965.

9. Kolonel Infanteri R Sugiyono Mangunwiyoto

Kolonel Sugiyono juga mengalami nasib yang mengenaskan bersama dengan Brigjen Katamso. Perwira yang pernah menjadi ajudan Letnan Kolonel Soeharto di zaman revolusi itu gugur bersama Brigjen Katamso usai kepalanya dihantam kunci mortir motor dan batu.

Sugiyono yang turut beraksi dalam Serangan Umum 1 Maret, lahir di Gunung Kidul, Yogyakarta, 12 Agustus 1926. Bersama Brigjen Katamso, jenazahnya dimasukkan ke lubang yang sama dan baru ditemukan setelah 20 hari kemudian.

10. Ajun Inspektur Polisi Dua Karel Satsuit Tubun (KS Tubun)

KS Tubun adalah satu-satunya satu-satunya perwira di luar TNI yang tewas pada malam G30S PKI. Pembunuhannya tidak direncanakan oleh pasukan Cakrabirawa. Pria kelahiran Maluku Tenggara pada 14 Oktober 1928 tersebut dibunuh saat memergoki pasukan Cakrabirawa mengepung rumah Jendera AH Nasution.

KS Tubun saat itu bertugas menjadi ajudan Johanes Leimena, menteri di kabinet Presiden Sukarno. Rumah Leimena bertetangga dengan rumah Jenderal Nasution.

Saat pengepungan rumah Jenderal Nasution, ia mendengar suara tembakan dan berusaha menyerang pasukan Cakrabirawa. Namun, karena hanya sendirian, pasukan Cakrabirawa berhasil mengalahkannya. KS Tubun tewas diberondong peluru. Jasadnya tidak dibawa ke Lubang Buaya.

11. Ade Irma Suryani Nasution

Putri bungsu Jenderal Abdul Haris Nasution ini tewas ketika keluarganya mengalami kepanikan saat rumah ayahnya diserang oleh pasukan Cakrabirawa.

 

Usai Jenderal AH Nasution berhasil melarikan diri, ajudan yang tersisa berusaha melindungi keluarganya. Namun nahas, Ade Irma terkena tembakan tentara Cakrabirawa dari jarak dekat.

Ade Irma lahir pada 19 Februari 1960 dan meninggal dunia pada usia 5 tahun. Saat tertembak, ia tidak bisa segera mendapat perawatan karena pasukan PKI menginterogasi istri Jenderal Nasution. Usai meyakinkan para penyerang tersebut bahwa Jenderal Nasution berada di luar kota, istri Jenderal Nasution baru bisa melarikan Ade Irma ke rumah sakit. Namun, nyawanya tidak tertolong setelah enam hari dirawat. Ia dimakamkan di kawasan kantor Wali Kota Jakarta Selatan.

In Picture: Suasana Monumen Pancasila Sakti di Hari Kesaktian Pancasila

photo
Pengunjung berfoto di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Jumat (1/10). Pada Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober sejumlah warga mengunjungi Monumen Pancasila Sakti untuk berwisata dan mengenang tujuh pahlawan revolusi yang gugur pada peristiwa G30S/PKI. Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement