REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi III DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kamis (15/9).
Dalam rapat itu, Kepala Komjen Pol Boy Rafli mengatakan bahwa BNPT tengah menyusun pemetaan terhadap wilayah rawan radikal terorisme.
"Pada 2021 ini BNPT melakukan analisis pemetaan wilayah rawan paham radikal terorisme untuk mengetahui wilayah rawan radikal terorisme," kata Boy di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (15/9).
Boy mengatakan penelitian tersebut memiliki tiga tujuan. Pertama memetakan potensi radikalisme di masyarakat. Kedua, memetakan pemahaman dan sikap kebhinekaan dan pengaruh dalam menangkal paham radikalisme.
Kemudian yang ketiga yaitu memetakan literasi digital di masyarakat. Serta pengaruh dalam menangkal potensi radikalisme di masyarakat.
"Hal ini tentu kita berharap menjadi dasar menyusun indeks terorisme dan indeks potensi radikalisme di berbagai daerah," ujarnya.
Lebih lanjut, Boy mengatakan lembaganya memiliki duta damai di 13 provinsi seluruh Indonesia. "Mereka terdiri dari anak-anak milenial, generasi muda yang menyusun konten kontra propaganda terhadap narasi yang dibangun oleh kelompok jaringan intoleran dan radikal terorisme," kata Boy.
Jumlah duta damai sebanyak 453 peserta, dimana mereka telah mempublikasikan 1.783 tulisan, 824 infografis dan 134 video kontra propaganda.
Program duta damai itu, kata dia, merupakan bagian dari kontra radikalisasi yakni kontra narasi, kontra propaganda dan kontra ideologi. Selain itu, ada pula program pemberdayaan pusat media damai dan duta damai dunia maya.
Kata Boy, untuk duta damai dunia maya di antaranya beberapa situs internet yang menyediakan konten informatif ,seperti damailahindonesiaku.com, situs edukatif seperti jalandamai.org, situs duta damai dutadamai.id dan situs independen seperti islamkaffah.id.
Sebelumnya, secara terpisah Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN), Wawan Hari Purwanto, menyebutkan beberapa modus baru terorisme saat ini yang patut diantisipasi pihak-pihak terkait. "Menempatkan perempuan sebagai 'pengantin' aksi terorisme sebagai modus pertama," kata Wawan, akhir bulan Agustus lalu.
"Perempuan efektif digunakan karena masyarakat dan aparat penegak hukum cenderung tidak curiga," ujar Wawan.
Dia mencontohkan peran perempuan dalam aksi terorisme pada masa kejayaan ISIS memiliki Brigade Khansaa yang secara khusus berisi kaum perempuan.
Wawan juga menyebutkan aksi lone wolf atau serangan teror seorang diri sebagai modus dan aksi terorisme yang paling memungkinkan untuk terjadi di kemudian hari akibat radikalisasi diri sendiri.
Modus baru berikutnya juga terkait dengan pendanaan terorisme, yakni melalui kotak amal yang digunakan dan disebarkan dengan menyamar sebagai kegiatan yang dilakukan yayasan atau panti asuhan.
"Pendanaan terorisme melalui kotak amal ini menunjukkan masih aktifnya gerakan bawah tanah kelompok teror," kata Wawan.
Selain itu, modus terorisme dengan menggunakan milenial juga harus menjadi perhatian serius saat ini.