Rabu 15 Sep 2021 15:24 WIB

'Penyalur Pegawai Bernama KPK'

Penyaluran pegawai KPK tak lolos TWK seperti bagian dari penggembosan integritas KPK.

Salah satu dari massa aksi yang tergabung dalam serikat buruh dan masyarakat sipil melakukan aksi teatrikal di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (28/6/2021). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes dari upaya pelemahan KPK mulai dari revisi UU KPK hingga pemecatan 75 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Foto:

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana juga menilai janggal upaya penyaluran pegawai KPK tak lolos TMS. "Penyaluran ke institusi lain ini bukti jelas kalau Pimpinan KPK yaitu Firli Bahuri memang memiliki intensi dan target untuk menyingkirkan pegawai dengan distigma radikal karena tidak lolos TWK hanya akal-akalannya saja. Betul sangat jelas ini aneh, kekurangan penyelidik dan penyidik namun menyingkirkan mereka apalagi mereka para pegawai berpengalaman dan berprestasi," katanya saat dihubungi.

Kemudian, ia melanjutkan kejanggalan berikutnya adalah sudah distigma bermasalah tetapi mau disalurkan ke lembaga atau institusi lain. Tindakan tersebut menunjukkan kalau stigma itu jelas keliru sebagaimana temuan Ombudsman dan Komnas HAM.

"Ini seperti bentuk cara jahat penyingkiran dengan dalih membantu dan bagian dari program KPK. Padahal Presiden, Ombudsman RI dan Komnas HAM sudah merekomendasikan kepada Pimpinan KPK untuk memproses alih status mereka menjadi PNS di KPK sebagaimana ketentuan UU," kata dia.

Hal ini didasarkan pada Ombudsman menentukan maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan TWK termasuk berbagai temuan pelanggaran HAM oleh Komnas. "Mestinya Pimpinan KPK yang banyak bermasalah saat ini  mengikuti rekomendasi ombudsman dan Komnas HAM. Tidak justru terus membuat kebijakan yang mempermalukan KPK yang mestinya tegakkan hukum bukan mempermainkan hukum," kata dia.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zainur Rahman menilai pimpinan KPK tidak bisa memberhentikan sepihak pegawainya yang tak lolos TWK. Alasannya bertentangan dan melanggar putusan Mahkamah Agung (MA).

Putusan MA tersebut, jelas dia, adalah tindaklanjut atas keputusan TWK KPK menjadi kewenangan pemerintah atau presiden, bukan KPK. Artinya KPK tidak memiliki kewenangan menindaklanjuti hasil TWK, termasuk memecat pegawainya. Kewenangan itu ada di presiden atau bawahannya di pemerintah.

Kemudian Undang Undang 19 tahun 2019 juga memberi batasan waktu maksimal dua tahun untuk pegawai KPK dialihstatuskan menjadi ASN. Artinya tidak ada urgensi untuk memberhentikan pegawai KPK, apalagi pemberhentian itu berlawanan dengan UU dan putusan MA.

"Jadi menurut saya jika pemberhentian itu benar dilaksanakan, maka itu merupakan pelanggaran hukum, pembangkangan terhadap putusan MA karena dilakukan tanpa kewenangan, yang mana kewenangan ada di pemerintah," terangnya.

Terkait penyaluran pegawai KPK untuk bekerja ke institusi lain, Zainur menilai justru cara itu juga bagian dari penggembosan integritas KPK. "Tawaran untuk bekerja di BUMN itu bisa jadi strategi untuk menggembosi perlawanan pegawai KPK yang masih memiliki integritas sangat baik dalam pemberantasan korupsi," ujarnya.

Karena memang KPK tidak memiliki kewenangan menempatkan eks pegawainya ke instansi lain. "KPK bulan penyalur tenaga kerja," tegasnya. Jadi tidak bisa KPK menempatkan eks pegawainya di instansi lain, termasuk di BUMN.

Kalaupun ada, KPK bekerjasama dengan instansi lain untuk menempatkan pegawai aktif ke instansi lain, untuk melakukan perubahan-perubahan agar instansi atau institusi tersebut jadi lebih bersih dari korupsi. Itu memungkinkan, dengan catatan dilakukan dengan kerjasama antara KPK dengan instansi lain.

"Artinya itu dilakukan dalam batasan waktu tertentu, bukan permanen jadi pegawai instansi lain. Itu bisa jadi program pencegahan. Tapi tidak mungkin bila dilakukan oleh eks pegawai," terangnya.

Zainur menilai upaya penggembosan ini dikarenakan syarat yang diajukan adalah harus mengundurkan diri terlebih dahulu. Jadi kalaupun disalurkan ke BUMN, sejatinya itu bukan program pencegahan korupsi, tapi upaya untuk menggembosi perlawanan pegawai, karena TWK sudah disebut maladministrasi oleh Ombudsman RI dan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM.

Dan bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) menyerahkan keputusan hasil TWK KPK diserahkan ke Presiden, bukan kembali ke KPK. Sehingga Pimpinan KPK tidak memiliki hak memutuskan status pegawainya yang tak lolos TWK, karena diserahkan kembali ke presiden sebagaimana putusan MK dan MA.

"Maka ada strategi dari pimpinan KPK dengan mempekerjakan di instansi BUMN dengan cara mengundurkan diri terlebih dahulu. Maka saya melihatnya ini sebagai penggembosan," imbuhnya.

Kalau melihat logika, menurut dia, justru aneh. Karena pimpinan KPK sejak awal bersikeras mereka tak lolos TWK, tapi kok malah ditawarkan bekerja di instansi lain. Maka kalau dilihat logika tersebut, jelas menurut dia, bahwa TWK yang kemarin memang tes asal-asalan yang banyaj masalah, sesuai dengan temuan Komnas HAM dan Ombudsman.

 

photo
Ombudsman RI telah menyampaikan hasil pemeriksaan terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK - (Republika)

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement