Rabu 15 Sep 2021 21:46 WIB

Pemecatan Pegawai dan Siasat KPK Berlindung di Balik UU

KPK menegaskan pemecatan pegawai sudah sesuai dengan konstitusi.

Mantan pimpinan KPK Saut Situmorang (kanan) bersama penyidik nonaktif KPK Novel Baswedan (kiri) menuliskan surat untuk presiden saat mengikuti aksi anti korupsi di Jakarta, Rabu (15/9/2021). Aksi tersebut berlangsung sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, serta meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pemecatan 57 pegawai KPK yang selama ini memiliki integritas tinggi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Mantan pimpinan KPK Saut Situmorang (kanan) bersama penyidik nonaktif KPK Novel Baswedan (kiri) menuliskan surat untuk presiden saat mengikuti aksi anti korupsi di Jakarta, Rabu (15/9/2021). Aksi tersebut berlangsung sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, serta meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan pemecatan 57 pegawai KPK yang selama ini memiliki integritas tinggi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Antara

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan memecat 51 pegawainya yang tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Pemecatan dilakukan meski Ombudsman dan Komnas HAM merekomendasikan hal yang berbeda.

Baca Juga

Pegawai KPK non-aktif, Hotman Tambunan menyoroti tanggung jawab Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pemecatan 51 pegawai lembaga antirasuah. "Masa sih Bapak Presiden yang negarawan, yang peduli pada kemajuan bangsa, membiarkan dan memaklumi adanya maladministrasi berdasarkan temuan lembaga negara Ombudsman RI dan adanya pelanggaran HAM atas temuan Komnas HAM dalam administrasi pemerintahannya?" kata Hotman Tambunan kepada Republika di Jakarta, Rabu (15/9).

Hotman menilai KPK kerap berlindung di balik ketaatan pada Undang-Undang (UU) namun mereka mengabaikan ketentuan konstitusi yang memerintahkan untuk melaksanakan rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM. Dia menegaskan, rekomendasi kedua lembaga tersebut juga telah diserahkan ke Presiden Jokowi.

Kendati, dia memaklumi sikap pimpinan KPK yang mengabaikan rekomendasi kedua lembaga negara tersebut. "Pimpinan KPK bertindak seperti itu saya maklum, wong etik saja mereka abaikan," katanya.

Dia mengatakan, pimpinan KPK hanya berpaku pada aturan normatif di putusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Dia mengatakan, KPK tidak melihat maladministrasi dan pelanggaran HAM yang terjadi selama tes tersebut berjalan.

"Ini seperti KPK berwenang menyidik tapi dalam penyidikan mereka pukuli orang, mereka intimidasi orang. Itu kan tak sah penyidikannya tetapi selalu berdalih KPK berwenang menyidik, seperti itu analoginya," katanya.

Penyidik senior Novel Baswedan adalah salah satu pegawai yang dipecat. Ia menegaskan bahwa putusan MA dan MK terkait hasil TWK merupakan kewenangan pemerintah. Novel yakin pimpinan KPK tidak akan berlaku sembrono dalam memutuskan nasib pegawai tak lolos TWK.

"Saya tidak yakin pimpinan KPK akan berlaku sembrono dan melanggar seserius itu," kata Novel Baswedan di Jakarta, Rabu (15/9).

Dia mengatakan, hasil MA yang katakan bahwa hasil TWK adalah wewenang pemerintah. Lanjutnya, pemeriksaan Ombudsman RI dan Komnas HAM juga menemukan banyak perbuatan melawan hukum, maladministrasi, ilegal dan bermotif penyingkiran pegawai KPK. "Dan banding administrasi yang kami ajukan ke presiden juga menurut UU dinyatakan diterima," katanya.

Faktanya, KPK resmi memecat 51 pegawai yang tidak lolos TWK. Pemberhentian tersebut berlaku efektif per 1 Oktober 2021 nanti.

KPK membantah mempercepat pemberhentian dengan hormat 56 pegawainya yang tidak lolos TWK. "Jadi, bukan percepatan tetapi memang dalam durasi yang dimandatkan oleh undang-undang," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu.

Ghufron menjelaskan sebagaimana Pasal 69B dan Pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, KPK dimandatkan paling lama 2 tahun untuk menyelesaikan proses alih status pegawai KPK menjadi ASN terhitung sejak Undang-Undang tersebut mulai berlaku."KPK dimandatkan berdasarkan Pasal 69B dan juga Pada pasal 69C Undang-Undang 19 Tahun 2019 itu paling lama 2 tahun. Namanya paling lama, Anda boleh menyelesaikan sekolah maksimal 4 tahun, kata orangtuanya kalau bisa 1 tahun kan Alhamdulillah tidak perlu banyak. Malah pertanyaannya kenapa kok baru sekarang pak? Karena kami ingin memberikan putusan itu berdasarkan hukum yang kuat," ujar Ghufron.

Lebih lanjut, ia menyatakan keputusan tersebut juga berdasarkan putusan MK Nomor 26 Tahun 2021 soal uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dinyatakan tidak diskriminatif dan konstitusional. Kemudian, putusan MA Nomor 34 Tahun 2021 soal uji materi Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Alih Pegawai KPK menjadi ASN dinyatakan bahwa perkom tersebut konstitusional dan sah.

"Karena sebagaimana diketahui, permasalahan ini diadukan kepada lembaga-lembaga negara khususnya yag memiliki kompetensi yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung juga merujuk pada pernyataan saya maupun Pak Alex (Alexander Marwata) sebelumnya bahwa kami masih menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung," ucap dia. "Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Agustus sudah memutuskan lantas Mahkamah Agung pada 9 September telah memutuskan dan kami kemudian tindaklanjuti dengan rapat koordianasi dengan pemerintah, yakni dalam hal ini kementerian yang memiliki tugas dan fungsi untuk formasi PNS, yaitu Kemenpan RB sementara manajemen teknis kepegawaian itu BKN," tambah Ghufron.

Dalam kesempatan sama, Ketua KPK Firli Bahuri juga menyatakan bahwa alih status pegawai KPK menjadi ASN paling lama 2 tahun sesuai amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. "Undang-Undang 19 Tahun 2019 itu diundangkan tanggal 19 Oktober 2019 kalau saya tidak salah ya. Artinya paling lama 2 tahunnya 19 Oktober 2021, itu satu. Kedua, kita tunduk pada Undang-Undang, tidak ada istilah percepatan atau perlambatan tidak ada, sesuai putusan saja. Putusannya keluar tanggal 9 September dan 31 Agustus, ya harus kita laksanakan," ujar Firli.

KPK akan memberhentikan dengan hormat 56 pegawainya yang tidak lolos TWK pada 30 September 2021. "Terhadap enam orang pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) dan diberi kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan namun tidak mengikutinya maka tidak bisa diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara dan akan diberhentikan dengan hormat pertanggal 30 September 2021," kata Wakil Ketua Alexander Marwata. Selanjutnya, memberhentikan dengan hormat kepada 50 orang pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat per tanggal 30 September 2021.

photo
KPK sampaikan keberatannya atas temuan proses TWK yang dinilai maladministrasi oleh Ombudsman. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement