Senin 06 Sep 2021 18:55 WIB

Pandemi tak Bisa Diselesaikan dengan Kebijakan Tambal-Sulam

Kebijakan tambal-sulam membuat RI seperti terjebak di 'lingkaran setan' pandemi.

Tenaga kesehatan menyuntikkan vaksin Covid-19 kepada seorang anak saat vaksinasi massal di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Bandung, Jawa Barat, Jumat (20/8/2021). Presiden Joko Widodo menargetkan hingga akhir Agustus 2021 jumlah penerima vaksin Covid-19 di Indonesia mencapai 100 juta guna membentuk kekebalan kelompok sehingga pandemi Covid-19 segera berakhir.  (ilustrasi)
Foto:

Kalangan pakar yang bergabung dalam Aliansi Ilmuwan Indonesia untuk Penyelesaian Pandemi menilai, keadaan itu sebagai jebakan Covid-19. Di mana situasi menjadi seperti siklus: laju penularan yang tinggi - munculnya varian baru - pandemi yang semakin lama - krisis ekonomi - pelonggaran aktivitas masyarakat.

"Kita belum berhasil mengendalikan pandemi. Kita masih terjebak di lingkaran 'setan' itu. Kasus akan terus naik-turun kalau kebijakan pemerintah masih bersifat 'tambal-sulam', di mana program kerja hanya fokus menangani keadaan yang yang sedang terjadi, bukan pada langkah antisipasi," kata Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono yang juga tergabung dalam aliansi, Senin (6/9).

Pandu mengatakan, Indonesia masih rentan terhadap gejolak pandemi akibat penanganan wabah Corona yang cenderung sporadis. Ketika terjadi lonjakan kasus, pemerintah segera memberlakukan pembatasan sosial. Namun, ketika pelonggaran dilakukan, justru mobilitas dan aktivitas masyarakat memicu naiknya jumlah kasus. Begitu seterusnya.

Kehadiran varian baru yang lebih ganas, kata Pandu, dapat membuat Indonesia lebih sulit untuk keluar dari krisis kesehatan publik yang berkepanjangan. Untuk itu, jalan keluar dari pandemi harus dipikirkan dan diwujudkan tidak hanya untuk menekan mortalitas dan morbiditas Covid-19 saat ini, tetapi juga untuk mengeluarkan bangsa ini dari krisis pandemi dalam jangka panjang.

Skenario pascapandemi

Aliansi Ilmuwan Indonesia Untuk Penyelesaian Pandemi mengusulkan jalan keluar berupa skenario pascapandemi. Skenario tersebut disusun oleh sejumlah ilmuwan Indonesia yang independen dan nonpartisan dengan latar belakang disiplin dan institusi yang beragam, di antaranya Sulfikar Amir yang mewakili Nanyang Technological University, Pandu Riono dari Universitas Indonesia, Irma Hidayana dari LaporCovid19, Iqbal Elyazar dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Ines Atmosukarto dari Australian National University dan Yanuar Nugrogo dari ISEAS-Yusof Ishak Institute.

Tiga prinsip utama dalam skenario itu yakni, empati atau kepedulian terhadap sesama yang menjadi fondasi dalam penanganan setiap krisis kemanusiaan. Equity sebagai kesetaraan dan keadilan yang menjamin akses bagi seluruh warga tanpa diskriminasi dalam mendapatkan hak hidup sehat dan bahagia. Terakhir, episteme sebagai upaya pengetahuan ilmiah yang sangat dibutuhkan sebagai panduan dalam mengarungi ketidakpastian dan risiko pandemi.

Berdasarkan tiga prinsip ini, Aliansi Ilmuwan menekankan dua hal penting yang tidak hanya bertujuan untuk menyelesaikan pandemi Covid-19, tetapi juga untuk memperkuat kapasitas pemerintah dalam mengantisipasi pandemi di masa datang. Dua hal tersebut adalah peta jalan penyelesaian pandemi dan pembangunan tata kelola pandemi melalui pelembagaan badan pengendalian wabah penyakit.

Guru Besar Bidang Sosiologi Bencana dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura Prof Sulfikar Amir membagi skenario penanggulangan situasi pandemi di Indonesia dalam tiga fase. Fase pertama, fokus pada penekanan laju kasus, fase dua melalui upaya menstabilkan pandemi dan fase ketiga menormalkan situasi pandemi.

"Indonesia saat ini masih ada di fase satu. Target yang harus dilakukan adalah menurunkan laju penularan hingga di angka rata-rata di bawah 10 persen," katanya.

Strategi pada fase satu, kata Sulfikar, adalah push and pull dengan fokus pada pembatasan sosial antarwilayah secara terpadu melalui pengembangan teknik pengendalian risiko di ruang publik dan strategi penguatan biosurveilans pada tingkat komunitas. Sulfikar menilai penerapan platform tunggal PeduliLindungi merupakan strategi penguatan biosurveilans pada aktivitas publik di perkantoran, mal, restoran dan tempat lainnya.

Aplikasi tersebut terkoneksi dengan pelacakan kasus di fasilitas pelayanan kesehatan dengan New All Record (NAR) sebagai sistem data yang tersentral. Menurut Sulfikar, indikator pencapaian yang dapat dimonitor pada fase satu di antaranya penurunan jumlah kasus harian, kematian, dan tingkat keterisian rumah sakit.

"Pada fase satu ini targetnya adalah kelompok rentan yang terdampak pembatasan sosial terkompensasi bantuan langsung tunai (voucher) dan pengeluaran individu rentan yang terdampak," katanya.

Pada fase kedua, kata Sulfikar, laju penularan perlu ditekan hingga rata-rata angka positif berada di bawah 5 persen agar situasi dapat dikendalikan dan berada pada situasi yang stabil. Strategi yang dapat ditempuh adalah pengembangan teknik pengendalian risiko di ruang publik melalui penurunan angka reproduksi (R0) di bawah 1 persen.

"Strateginya meningkatkan partisipasi publik dalam penanganan pandemi secara terintegrasi. Pengembangan kapasitas mitigasi berbasis komunitas dan partisipasi publik dalam penanganan pandemi di tingkat komunitas," katanya.

Untuk mencapai fase tiga, kata Sulfikar, Indonesia perlu menurunkan laju penularan hingga rata-rata angka positif di bawah 1 persen. "Strateginya penguatan biosurveilans pada tingkat komunitas dan jumlah kasus secara nasional di bawah 5 per 100 ribu penduduk per pekan," katanya.

Strategi yang dapat dilakukan pemerintah adalah memperkuat kolaborasi vertikal dan horisontal dalam pengawasan pandemi. "Strateginya adalah menumbuhkan ketahanan sosial pada tingkat komunitas, pemulihan aktivitas sosial ekonomi khususnya pada tingkat akar rumput. Indikator yang bisa diperhatikan adalah pertumbuhan pendapatan kelas menengah bawah," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement