Ahad 05 Sep 2021 14:53 WIB

Fahri: Biaya Politik Mahal Jadi 'Bumerang' Sistem Demokrasi

Kerusakan sebuah negara demokrasi bisa dilihat dari tingkah laku parpolnya.

Fahri Hamzah
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Fahri Hamzah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan dalam pemilu presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada), telah menjadi "bumerang" bagi keberlangsungan sistem demokrasi dan keberadaan partai politik di Indonesia. Bahkan, hal itu melahirkan praktik-praktik korup yang dilakukan para politisi atau pejabat yang terpilih. 

"Karena keterpilihan mereka tidak ditentukan kualitas dan kapabilitasnya, tapi 'isi tas' atau besaran dana politik yang bersumber dari kantong pribadi atau dari penyandang dana," kata Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah  dalam keterangannya, Ahad (5/9).

Dia menilai, tidak mengherankan apabila ketika para politisi atau pejabat terpilih dalam jabatan tertentu, maka yang terpikir pertama kali adalah bagaimana mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan agar "balik modal". Menurut dia, hampir tidak ada klaster politik yang tidak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kasus terbaru adalah seorang anggota DPR dengan istrinya yang merupakan seorang bupati ditangkap KPK.

Fahri mengatakan, kerusakan sebuah negara demokrasi, bisa dilihat setidaknya dari tingkah laku parpolnya terutama yang masuk dalam lingkaran kekuasaan. "Segera dilakukan pembenahan agar parpol dan sistem demokrasinya sehat. Partai politik itu sebenarnya lembaga pemikiran untuk mengintroduksi cara berpikir dalam penyelenggaraan negara, namun sekarang justru menjelma menjadi mesin kekuasaan," ujarnya.

Dia menegaskan, bahwa Partai Gelora akan berusaha untuk memutus "lingkaran setan" tersebut. Karena, pertarungan politik adalah pertarungan rakyat, bukan pertarungan pribadi atau partai politik.

Menurut dia, negara yang beres, sistem politiknya harus bebas korupsi. Sehingga, sistemnya harus ditata dan dikelola dengan baik, termasuk soal pembiayaan politik.

"Saya juga tidak mau kalau calon anggota legislatif (caleg) dibiayai partai, karena kalau dia bersalah, partai politik akan mengambil kepemilikannya," katanya lagi.

Fahri menilai, pembiayaan politik yang mahal sebenarnya bisa disiasati dan ditekan seminimal mungkin dengan berbagai cara. Misalnya, menggelar pertemuan secara virtual dibandingkan bertemu dengan cara bertatap muka.

Ketua Bidang Perempuan DPN Partai Gelora Indonesia Ratih Sanggarwati mengatakan, partai akan mendorong kaum perempuan untuk maju dalam konstestasi Pemilu 2024 dalam rangka memenuhi keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen. Dia berharap, semua perempuan di seluruh wilayah Indonesia yang memiliki kapasitas yang hebat untuk maju sebagai kandidat di pemilu. 

"Tidak lagi berpikir terganjal biaya politik yang mahal, tapi harus kita dorong untuk mampu dan mau berkontestasi pada pemilu terutama untuk memenuhi kuota keterwakilan 30 persen perempuan," ujarnya.

Dia menilai, praktik-praktik pembiayaan politik yang mahal selama ini tidak mencerdaskan masyarakat dan hanya menyuburkan prilaku korupsi, sehingga muncul istilah "Serangan Fajar" dan "Wani Piro?".

Menurut dia, tindakan tersebut harus dihindari, karena selain melanggar aturan, praktik-praktik politik seperti itu sangat tidak mencerdaskan masyarakat. Ratih mengatakan, sebaiknya dana kampanye disiapkan untuk membuat berbagai alat peraga kampanye atau untuk membuat iklan di media massa jika diperlukan sebagai upaya mengedukasi masyarakat.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement