Rabu 01 Sep 2021 19:40 WIB

Pers Nasional Belum Sepenuhnya Bebas

Karya intelektual pers kerap ditangani dengan hukum pidana.

Rep: Flori sidebang/ Red: Ilham Tirta
Wartawan (ilustrasi)
Foto: 02varvara.wordpress.com
Wartawan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pers, Ahmad Djauhar mengungkapkan, hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) nasional selama lima tahun terakhir memang menunjukan peningkatan. Namun, menurut dia, masih terdapat beberapa fenomena yang mengindikasikan bahwa pers nasional belum sepenuhnya bebas.

“Sebagai contoh, masih ada penegak hukum tidak menggunakan Undang-Undang Pers dalam menangani kasus pers, selain masih adanya sejumlah kalangan yang mengadukan pers kepada polisi bukan kepada Dewan Pers dengan berbagai alasan,” kata Ahmad dalam diskusi virtual, Rabu (1/9).

Padahal, kata dia, dalam amanat Undang-Undang Pers disebutkan, untuk produk pers maupun produk pemberitaan yang salah harus diadukan atau diselesaikan di Dewan Pers, bukan di pengadilan umum. Sebab, jelas Ahmad, kesalahan yang terjadi merupakan kesalahan etik, bukan tindak kriminal.

Ia menilai, fenomena ini memunculkan kesan bahwa karya jurnalistik yang merupakan karya intelektual ditangani dengan pendekatan hukum pidana sehingga diperlakukan sebagai tindak kriminal. “Hal ini menunjukan bahwa gejala kriminalisasi pers masih ada walaupun Undang-Undang Pers telah berumur 22 tahun,” kata dia.

Di sisi lain, ia menambahkan, kesadaran pada mekanisme hak jawab dan mediasi melalui Dewan Pers sudah tinggi. Dia berujar, apabila mengacu pada jumlah pengaduan dari masyarakat berdasarkan data yang dimiliki Dewan Pers, terdapat sekitar 800 surat aduan sepanjang tahun 2020.

Pada Rabu ini, Dewan Pers mengungkapkan hasil survei IKP 2021. Survei ini dilakukan oleh Superintending Company of Indonesia (Sucofindo) pada Januari-Desember 2020 di 34 provinsi untuk mengetahui tingkat kemerdekaan pers secara nasional.

“Tahun ini indeks kemerdekaan pers ada di angka 76,2. Ini masuk pada kategori cukup bebas,” kata peneliti tim riset IKP 2021, Ratih Siti Aminah.

Ratih menjelaskan, dari total IKP tersebut, daerah yang mendapatkan skor indeks kemerdekaan pers 2021 paling tinggi adalah Kepulauan Riau dengan angka 83,30. Kemudian, di urutan kedua ada Jawa Barat dengan capaian skor 82,66.

Posisi ketiga dan keempat diduduki Kalimantan Timur serta Sulawesi Tengah, masing-masing memiliki skor 82,27 dan 81,78. Di posisi kelima terdapat Kalimantan Selatan dengan angka 81,64.

Daerah yang memiliki peringkat IKP terendah adalah Maluku Utara dengan nilai 68,32 dan Papua yang memiliki skor 68,87. “Lima urutan terakhir itu ada Banten, Gorontalo, Papua Barat, Papua, dan Maluku Utara,” ujarnya.

Ia menuturkan, berdasarkan hasil survei tersebut, pihaknya memberikan beberapa rekomendasi. Di antaranya, Dewan Pers dapat mensosialisasikan hasil IKP tahun 2021 ini ke setiap daerah dengan target audiens utamanya adalah pejabat daerah, termasuk kepala kepolisian daerah (kapolda) dan aparat penegak hukum.

“Sosialisasi juga dilakukan pada stakeholder yang memiliki wewenang manajemen pers yang mencakup unsur organisasi wartawan, konstituen Dewan Pers, pimpinan perusahaan pers, baik cetak, siaran, siber, serta unsur masyarakat,” jelas dia.

Rekomendasi kedua, Dewan Pers melakukan advokasi serta penguatan politik untuk mendorong terwujudnya peraturan daerah tentang kerja sama dengan media yang memiliki kaidah tata kelola yang baik dan transparan, serta mempunyai akuntabilitas. Selanjutnya, Dewan Pers dapat mendorong agar isu UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers masuk didalam kurikulum, khususnya kurikulum sekolah kepolisan hingga pelatihan manajemen kepolisian tingkat tinggi.

“Hal ini bertujuan untuk meningkatkan literasi penegak hukum mengenai UU Pers yang sifatnya adalah lex specialis,” ungkap Ratih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement