REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Rully Akbar merespons praktik kepemimpinan dinasti di Probolinggo, Jawa Timur. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja mengamankan 10 orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di sana.
Menurut KPK, seorang di antara 10 orang itu adalah kepala daerah, Puput Tantriana Sari. Puput yang saat ini menjabat bupati Probolinggo meneruskan tonggak kepemimpinan dari suaminya, Hasan Aminuddin.
Rully mengatakan, praktik dinasti tak bisa dicegah karena menghambat hak politik seseorang. Namun, ia menyindir praktik dinasti tak pantas dilakukan dari segi etika kepemimpinan.
"Karena praktik dinasti sah secara hukum formal demokrasi, bahwa setiap orang berhak mendapatkan hak berpolitik. Walaupun tidak baik secara etik," kata Rully kepada Republika.co.id, Senin (30/8).
Rully juga menyinggung aparat penegak hukum seharusnya menaruh perhatian lebih terhadap praktik dinasti. Sebab, selalu ada peluang memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi.
"Akan tetapi, dinasti politik wajib menjadi atensi pihak KPK karena ada kecenderungan untuk memiliki bahkan meraup kekuasaan dengan kewenangannya," ujar Rully.
Rully menekankan, tidak ada hubungan pasti antara praktik dinasti dan perilaku korupsi. Ia meyakini permainan antarpolitisi berujung korupsi bisa terjadi tanpa asas kekerabatan. Namun, praktik dinasti diduga mempermudah terjadinya korupsi karena hubungan kekerabatan.
"Apalagi, jika semua lembaga diisi berbasis kekeluargaan. Hal ini yang membuat sistem check and balances (pengawasan) berjalan rusak," ucap Rully.
Rully menyarankan supaya praktik dinasti dihindari guna mencegah patronase politik yang menyebabkan para kepala daerah seolah menjadi “raja kecil” untuk mengeruk sumber-sumber keuangan daerah. "Praktik ini lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaat," kata Rully.
Operasi senyap KPK dilakukan pada Ahad (29/8), dini hari. Saat ini, tim KPK masih melakukan permintaan keterangan kepada pihak-pihak yang ditangkap dalam waktu 1X24 jam.