Jumat 20 Aug 2021 01:27 WIB

Tersangka Kasus Bank Swadesi Minta Kepastian Hukum

Para tersangka kasus Bank Swadesi mendatangi Bareskrim Polri.

Logo Bareskrim
Foto: Raisan Al Farisi/Republika
Logo Bareskrim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah mantan direksi, komisaris dan pegawai Bank Swadesi (Bank of India Indonesia) yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana perbankan mendatangi Bareskrim Polri, Jakarta. Mereka meminta kepastian hukum atas perkara yang sudah 10 tahun berlangsung.

"Klien saya ditersangkakan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan karena diduga melanggar SOP. Sudah 10 tahun mereka menyandang status ini tanpa ada kepastian hukum," kata Fransisca Romana, kuasa hukum para tersangka, saat mendampingi kliennya mendatangi Mabes Polri, Jakarta, Kamis (19/8).

Baca Juga

Fransisca menjelaskan pihaknya mendapat informasi bahwa Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam perkara ini sudah dikembalikan oleh Kejaksaan Agung kepada penyidik Bareskrim Polri. "Ini berarti proses penyidikan telah tidak memenuhi ketentuan undang-undang sehingga SPDP berikut sprindik dikembalikan kepada Penyidik Dirtipideksus Polri," ungkap Fransisca.

Para tersangka kompak mendatangi Bareskrim Polri dengan memakai kaos putih bertuliskan "Pencari Keadilan, 10 tahun tidak ada merdeka!" serta menggunakan masker warna merah putih. Menurut Fransisca, kliennya sudah Lelah secara fisik dan mental, terlebih di tengah pandemi, dipanggil terus menerus oleh penyidik yang semula jadi tersangka sekarang menjadi saksi karena alasan splitsing.

"Proses penyidikan 10 tahun di Polri, telah menimbulkan ketidak pastian hukum dan ketidakadilan bagi mereka," ujarnya.

Ditambahkan Fransisca, para mantan direksi, komisaris dan pegawai Bank of India Indonesia (BoII) kondisinya sudah pensiun dan saat ini rata-rata sudah berusia 70 sampai 83 tahun. Kondisi ini, menurutnya, membuat kliennya tidak selalu dalam kondisi sehat, apalagi ada yang menderita stroke permanen.

Penetapan Tersangka atas dasar pelanggaran SOP internal BoII terjadi ketika memproses kredit PT Ratu Kharisma pada tahun 2008 sejumlah Rp10,5 milyar. Namun PT Ratu Kharisma tidak mau membayar kreditnya sehingga jaminan kredit yang diikat hak tanggungan dilelang.

Padahal Peraturan OJK No. 42/POJK.03/2017, mengatur sanksi administratif yang mempengaruhi penilaian kesehatan Bank, apabila ada pelanggaran SOP. Demikian pula PBI No. 9/14/PBI/2007 dan Surat Edaran BI No. 10/47/DPNP sanksinya adalah koreksi dan denda apabila terjadi kekeliruan dalam pelaporan SID kepada BI.

Sejak tahun 2008 hingga saat ini 20 orang tersangka tersebut tidak pernah menerima teguran baik secara lisan maupun tertulis dari BI ataupun OJK dan Dewan Komisaris, tidak ada temuan pelanggaran oleh Tim Audit/Akuntan Publik.

"BoII tidak dirugikan. PT Ratu Kharima menikmati kreditnya tapi tidak mau bayar kreditnya. Lalu kenapa justru 20 orang mantan direksi, komisaris dan pegawai BoII ditetapkan tersangka," imbuhnya.

Fransisca menyebutkan, berbagai upaya telah dilakukan untuk kejelasan perkara yang dihadapi oleh kliennya. "Ibarat ada pencopet mengambil dompet tapi yang disalahkan justru yang kehilangan dompet karena tidak hati-hati menyimpan dompetnya," kata Fransisca seraya menambahkan.

Untuk itu, kata Fransisca, kliennya akan terus menuntut akan adanya ketidak adilan ini. Pada 9 Juli 2020, kliennya telah pernah mengajukan gelar perkara di Karowasidik. Di dalam gelar telah dipaparkan semua bukti-bukti yang menunjukkan para mantan direksi, komisaris dan pegawai BoII telah bekerja sesuai ketentuan yang berlaku. Justru karena PT Ratu Kharisma telah tidak membayar kreditnya maka BOII melelang jaminan kreditnya.

Dalam upayanya mencari keadilan, pihaknya kata Fransisca, telah juga mengirimkan surat pengaduan kepada Presiden Republik Indonesia yang membawahi Kapolri dan Kejaksaan Agung, termasuk juga kepada Komisi 3 DPR RI, Otoritas Jasa Keuangan, Ombudsman, Komnas HAM dan intansi terkait lainnya. Fransisca menegaskan, apabila surat kliennya tidak ada respon, mereka akan datang ke Presiden Jokowi, DPR RI dan instansi terkait lainnya.

Fransisca menyampaikan harapan para kliennya, kasus ini dapat segera dihentikan karena apabila kasus seperti dibiarkan berlarut -larut penyelesaiannya dan dipaksakan berlanjut akan menjadi preseden buruk atas penanganan perkara pidana 10 tahun tanpa ada ujungnya dan preseden buruk bagi dunia perbankan. Menurutnya para pegawai Bank akan mudah dikriminalisasi dengan Pasal 49 ayat 2 huruf b UU Perbankan atas dasar aduan Debitur Kredit Macet.

"Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang penting dan berpengaruh dalam perekonomian rakyat dan dunia usaha," tutupnya.

Secara terpisah, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dir Tipideksus) Bareskrim Polri, Brigjen Helmy Santika, menyebutkan proses penyidikan masih berjalan, pihaknya masih menunggu putusan inkrach dari tersangka utama.

"Bukan terhambat, tetapi karena tersangka utama divonis bebas dan ada upaya hukum dari Jaksa Penuntut umum (JPU). Maka kami menunggu putusab inkrahnya. Saat ini upaya hukum JPU dikabulkan, sehingga kami kordinasikan kembali untuk penyidikannya," ungkap Helmy.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement