REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom senior Indef Dradjad Wibowo mengatakan rencana pemerintah untuk menurunkan dana perlindungan sosial hingga Rp.60,3 triliun, belum tepat waktunya.
“Sampai saat ini belum ada data atau prediksi bahwa herd immunity akan tercapai pada 2022,” kata Dradjad, dalam diskusi webinar Indef bertajuk 'Merespon Pidato Kenegaraan dan Nota Keuangan RAPBN 2022', Selasa (17/8).
Belum jelasnya herd immunity tergambar dari cakupan vaksinasi penuh di Indonesia. Hingga kini angka vaksinasi penuh baru mencapai 28 juta orang atau 10,4%, di bawah rata-rata dunia 23,6 persen. D sisi lain, lanjut Dradjad, vaksin Sinovac yang paling banyak dipakai di Indonesia diragukan tingkat efektifitasnya.
“Sementara untuk obat preventid dan kuratif Covid-19 sepertinya masih perlu proses riset yang panjang,” papar Ketua Dewan Pakar PAN ini.
Dradjad menambahkan hingga kini juga tidak ada data tentang porsi dan level antibodi Covid-19 di masyarakat. Padahal ini sangat krusial bagi pemulihan pergerakan orang dan ekonomi. Menurut Dradjad survei tentang antibodi ini perlu dilakukan.
Hal yang juga perlu diperhatikan pemerintah terkait penurunan dana perlindungan sosial, menurut Dradjad, adalah kalaupun ketiga kondisi di atas terpenuhi di 2022, pelaku ekonomi perlu waktuuntuk pulih dari guncangan ekonomi (economic shocks).
“Jangan lupa 62 persen dari program perlindungan sosial sudah ada sebelum pandemi. Yang murni respon terhadap pandemi adalah Rp.119 triliun hingga Rp.190 triliun,” papar Dradjad.
Dradjad mengingatkan pandemi dan PPKM sangat memukul ekonomi rumah tangga dari masyarakat berpenghasilan harian. Terlebih PPKM dengan berbagai bentuknya sudah berjalan sekitar 1,5 bulan sejak 3 Juli 2021.
“Karena itulah selama program vaksin yang menghasilan herd immunity, ataupun sudah adanya obat dan perawatan medis preventif ataupun kuratif, maka program perlindungan sosial sangatlah krusial,” ungkap Dradjad. Program ini, lanjutnya, harus berada dalam jantung program penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi.