Selasa 17 Aug 2021 01:30 WIB

404: Not Found, Kala Mural Diberangus dan Dianggap Kriminal

“Kami tidak bisa dibungkam. Ini malah memotivasi kami untuk membuat karya lagi."

Seorang warga duduk di tembok, yang sebelumnya ada mural bergambar Presiden Jokowi bertuliskan 404: Not Found di bawah jembatan layang di Jalan Pembangunan 1, Kelurahan Batu Jaya, Kecamatan Batu Ceper, Kota Tangerang, Provinsi Banten, Ahad (15/8).
Foto:

Kepala Biro Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nelson Simamora menanggapi terkait tindakan polisi yang tidak membolehkan masyarakat untuk menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah lewat mural. Menurutnya, tindakan tersebut berlebihan dan menunjukkan kalau pemerintahan saat ini menjadi otoriter.

"Untuk polisi berhentilah melakukan tindakan yang berlebihan seperti melakukan penyelidikan, termasuk mendatangi rumah pembuat mural. Pasal penghinaan presiden sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2007. Jadi, untuk mural ‘404: Not Found’ tidak ada pidananya," katanya saat dihubungi Republika, Senin (16/8).

Kemudian, Nelson melanjutkan , terkait kasus lainnya yaitu grafiti bertuliskan "Tuhan Aku Lapar" yang terpampang di sebuah tembok di Tigarkasa, Kabupaten Tangerang, menurutnya tidak ada pelanggaran hukum disitu. Di grafiti tersebut juga tidak sebut Jokowi apalagi pemerintahan.

"Jadi jangan lebay (berlebihan). Pemerintah ini memberikan contoh hal-hal yang biasa terjadi di rezim orde baru diulang lagi," kata dia.

Nelson menambahkan, masyarakat termasuk individu-individu di dalamnya bisa menyampaikan apa pun yang mereka rasakan dalam berbagai bentuk ekspresi dan itu hak konstitusional mereka.

"Sepanjang tidak mempromosikan kekerasan. Ya sah-sah saja dalam menyampaikan pendapat," kata dia.

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar juga menanggapi tindakan polisi yang menghapus mural yang berisi kritikan terhadap pemerintah di berbagai wilayah. Menurutnya, hal tersebut mengancam kebebasan sipil dalam berpendapat.

"Negara (dari pusat sampai kepolisian) gagal menangkap keresahan publik. Reaktifnya negara dalam merespons ekspresi publik menunjukkan bahwa mereka tidak memerhatikan kondisi masyarakat di lapangan. Lalu, jika mereka melakukan pendatangan atau penangkapan terhadap pembuat mural jelas mengancam kebebasan sipil," katanya saat dihubungi Republika, Senin (16/8).

Kemudian, ia melanjutkan mural adalah salah satu bentuk ekspresi dari keresahan atas penanganan pandemi selama ini. Sehingga, jika kepolisian bertindak untuk menangkap pembuat mural dan menghapusnya itu berlebihan.  

"Ya berlebihan sikap polisi jika menindak pembuat mural. Mereka (pembuat mural) hanya menyampaikan pendapatnya saja kan. Jadi, tidak usah ditindak lebih jauh," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement