Ahad 15 Aug 2021 00:20 WIB

KPK Akui Terkendala dalam Mengusut Perkara KTP-Elektronik

Banyak saksi perkara KTP-Elektronik tinggal di luar negeri

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Nashih Nashrullah
Banyak saksi perkara KTP-Elektronik tinggal di luar negeri. Ilustrasi KTP elektronik (e-KTP)
Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Banyak saksi perkara KTP-Elektronik tinggal di luar negeri. Ilustrasi KTP elektronik (e-KTP)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku terkendala dalam mengusut kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Kendala tersebut lantaran banyaknya saksi yang berada di luar negeri.

"Banyak dari kemarin yang beberapa orang masih tinggal di Singapura," kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto, dikutip Jumat (13/8).

Baca Juga

Terlebih, lanjut Karyoto, kondisi pandemi Covid-19 pada saat ini juga semakin menambah kesulitan lembaga anti rasuah melakukan pendalaman terhadap perkara tersebut. 

Pasalnya, dengan adanya berbagai pembatasan, tim lembaga antirasuah kesulitan untuk menjemput saksi-saksi yang berada di luar negeri untuk dimintai keterangan. "Kondisi masih seperti ini, kami masih belum bisa pergi ke luar negeri, yang dari sana juga belum bisa ke sini," ujar Karyoto.

Namun, Karyoto memastikan, pihaknya telah meminta keterangan saksi lewat surat elektronik. Meskipun, menurutnya hal tersebut belum cukup lantaran masih diperlukannya memeriksa saksi secara tatap muka. "Artinya, secara komunikasi mungkin hanya per email saja," kata Karyoto.

Diketahui, KPK pada 13 Agustus 2019 telah menetapkan tersangka baru korupsi KTP-el yaitu mantan anggota DPR Miryam S Hariyani, Direktur Utama Perum PNRI yang juga Ketua Konsorsium PNRI, Isnu Edhi Wijaya, Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik, Husni Fahmi, serta Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tannos.

Dalam kasus ini, PT Sandipala Arthaputra yang dipimpin Tannos diduga diperkaya Rp145,85 miliar, Miryam Haryani diduga diperkaya 1,2 juta dolar AS, manajemen bersama konsorsium PNRI sebesar Rp137,98 miliar, dan Perum PNRI diperkaya Rp107,71 miliar, Husni Fahmi diduga diperkaya senilai 20 ribu dolar AS dan Rp10 juta.

Dalam kasus ini, peran Isnu Edhi Wijaya adalah berkongkalikong dengan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan PPK Kemendagri Sugiharto dalam mengatur pemenang proyek. 

Isnu meminta agar perusahaan penggarap proyek ini nantinya bersedia memberikan sejumlah uang kepada anggota DPR dan pejabat Kemendagri agar bisa masuk dalam konsorsium penggarap KTP-el.

Adapun konsorsium itu adalah Perum PNRI, PT Sandipala Arthaputra, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, dan PT Sucofindo.

Untuk pemimpin konsorsium disepakati berasal dari BUMN yaitu PNRI agar mudah diatur karena dipersiapkan sebagai konsorsium yang akan memenangkan lelang pekerjaan penerapan KTP-el.

Sementara Husni, yang juga ketua panitia lelang diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor. Dia berkonglikong dengan Irman, Andi Agustinus dan Sugiharto.

Dalam pertemuan tersebut, Husni diduga ikut mengubah spesifikasi, rencana anggaran biaya, dan seterusnya dengan tujuan mark up.

Atas arahan Irman, dia juga mengawal tiga konsorsium proyek yakni PNRI, Astragraphia, dan Murakabi Sejahtera.

Dia diduga tetap meluluskan tiga konsorsium meskipun ketiganya tidak memenuhi syarat wajib, yakni mengintegrasikan Hardware Security Modul (HSM) dan Key Management System (KMS).

Tannos juga diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan Husni selaku ketua panitia lelang dan Isnu serta pihak-pihak vendor. Pertemuan di sebuah ruko di Jakarta Selatan ini digelar jauh sebelum proyek ini dilakukan.

Pertemuan-pertemuan yang berlangsung selama kurang lebih dari 10 bulan itu menghasilkan beberapa output di antaranya adalah Standard Operating Procedure (SOP) pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana kerja, dan spesifikasi teknis yang kemudian dijadikan dasar untuk penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan oleh Sugiharto selaku PPK Kemendagri.

Tak hanya itu, Tannos juga diduga melakukan pertemuan dengan Andi Agustinus, Johannes Marliem dan Isnu untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati fee sebesar 5 persen. 

Atas perbuatannya, semua tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement