REPUBLIKA.CO.ID, JAMBI – Yayasan Cappa Jambi menyebut, pihak pemerintah perlu memberikan perhatian lebih intens dan serius terhadap Suku Anak Dalam (SAD) dan Orang Rimba. Yayasan Cappa Jambi yang mendampingi Suku Anak Dalam Batin 9 dan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit 12, menyebut butuh agenda khusus yang lebih intens dan berkelanjutan (sustainable).
Direktur Cappa, Edy Zuhdi, menjelaskan ada perbedaan mendasar di antara SAD dan Orang Rimba. Suku Anak Dalam adalah mereka yang bermukim di 9 sungai dengan kondisi yang sudah membaur dengan masyarakat bahkan sudah menetap memiliki kampung. Sedangkan Orang Rimba masih berada di dalam hutan menjaga adat dan kepercayaan mereka.
“Suku Anak Dalam sudah sama seperti kita cara berpakaiannya, bahkan mereka pun tak lagi menganut kepercayaan namun sudah memilih agama tertentu. Yang tersisa mungkin hanya budaya dan kebiasaan. Mereka sudah bermukim di dusun. Sedangkan Orang Rimba, masih di dalam hutan. Ada sekitar 12 kelompok besar yang ada di Taman Nasional Bukit 12, lalu ada juga di Bukit 30. Mereka masih menganut kepercayaan dan menjaga tradisi serta aturan adatnya,” ujar Edy Zuhdi dalam keterangannya kepada wartawan belum lama ini.
Menurutnya, kehadiran pemerintah sudah mulai terlihat. Dibuktikan dengan pengakuan terhadap keberadaan mereka. Pengakuan alas hak atas mereka sudah ada. Permen Nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Lalu ada Omnibus Law UU CK Nomor 11 tahun 2001 kemudian berubah aturan menjadi Permen Nomor 9 tahun 2021 yang sebenarnya sama, hanya melanjutkan dan mempertegas dari Permen Nomor 83 tahun 2016 terkait akses kawasan.
Beberapa tempat sudah memiliki akses pendidikan, kesehatan, kependudukan, namun ada juga yang belum. Sebaran yang belum merata ini juga perlu menjadi sorotan.
Selama ini bantuan yang diberikan hanya bantuan lepas salur. Semacam bantuan sosial, pangan, yang tidak akan mampu sustainable. Bantuan sekali salur tersebut dikhawatirkan hanya akan membuat orang rimba menjadi ketergantungan.
“Ada beberapa tempat memang, suku anak dalam batin 9 yang sudah mempunyai akses kesehatan, ada juga yang belum. Untuk suku anak dalam yang kami dampingi, jauh juga jika mau mendapat akses kesehatan,” kata Edi Zuhdi.
Terkait dengan pendidikan, Edi mengatakan, mereka tidak ingin pendidikan yang diberikan kepada mereka ini sama dengan pendidikan yang diberikan kepada orang luar. Seperti, jika ingin sekolah SD, mereka harus ditarik keluar (hutan) untuk dapat bersekolah.
“Jika pemerintah ingin bantu, bantu saja tenaga pendidik namun dengan adaptasi pola pendidikan dengan kebiasaan orang rimba. Mereka harus menyesuaikan, jangan seperti sekolah formal pada umumnya. Misal sekolah formal masuk jam 7 pagi, mereka tidak bisa dipaksakan seperti itu,” kata Yunus, pendamping Suku Anak Dalam dari Yayasan Cappa turut menambahkan
Sejak 2016, menurut Yayasan Cappa perhatian pemerintah sudah cukup terbuka. Ruang komunikasi sudah terjalin, dan hal ini tentunya menjadi sinyal positif.
Pemerintah juga pernah menyediakan rumah-rumah untuk orang rimba di luar area kawasan mereka, namun ada juga orang rimba yang kembali masuk ke dalam hutan. Untuk bantuan pemerintah daerah sudah mulai ada, mulai dari bantuan benih ikan, bibit pertanian, bibit tanaman kehutanan.
“Sudah mulai ada titik terang solusi dengan adanya kesepakatan untuk pengelolaan wilayah dengan memadukan aturan adat dengan aturan orang rimba. Kombinasi ini bukan sekadar penamaan, tapi substansinya. Penamaan itu misalnya, apa yang dimaksud lindung oleh orang rimba dan apa yang dimaksud lindung oleh taman nasional, itu hanya untuk mencocokkan nama saja. Fokus yang dimaksud ialah substansi dari isi dan pengelolaan kawasan tersebut,” ucap Edi.
Temuan lain dari Yayasan Cappa adalah kesulitan yang dialami Orang rimba terkait akses jalan dan akses produksi. Dalam kasus yang ditemuinya, mereka menemui fakta bahwa akses jalan keluar-masuk kawasan hanya ada satu. Dan itu adalah jalan pribadi milik tauke memiliki tanah luas di sekitar kawasan Taman Nasional.
“Nah mereka butuh akses pasar. Mereka masih bergantung dengan monopoli oleh tauke karet setempat. Mereka tidak bisa keluar kawasan untuk menjual hasil karet mereka karena jalan satu-satunya yang bisa dilewati adalah jalan pribadi milik tauke setempat,” kata Edi.