Kamis 12 Aug 2021 13:32 WIB

Legislator Kritik Penghapusan Angka Kematian 

Evaluasi tentang ketidakakuratan angka kematian Covid-19 perlu segera dilakukan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus Yulianto
Guspardi Gaus.
Foto: Dok DPR
Guspardi Gaus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus menilai, data angka kematian akibat Covid-19 penting sebagai bahan evaluasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Dia pun mengecam, jika pemerintah benar akan menghapusnya sebagai salah satu indikator kebijakan.

"Data angka kematian akibat Covid-19 itu justru penting sebagai salah satu indikator untuk melakukan evaluasi dan melihat keberhasilan penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah," ujar Guspardi kepada wartawan, Kamis (12/8).

Data angka kematian juga mengukur seberapa optimalnya langkah pemerintah melakukan 3T (testing, tracing, dan treatment). Perbaikan data pun dimintanya agar segera diperbaiki, bukan malah dihapuskan.

"Data kematian Covid-19 yang tidak akurat seharusnya dilakukan perbaikan dan langkah korektif, bukan justru dihapus dari indikator pelaporan penanganan Covid-19," ujar Guspardi.

Angka kematian akibat Covid-19, kata Guspardi, janganlah dianggap sebagai angka saja. Hal ini merupakan bentuk akuntabilitas pemerintah dalam penanganan Covid-19 kepada masyarakat.

Evaluasi tentang ketidakakuratan angka kematian Covid-19 perlu segera dilakukan dan mencari alternatif pemecahan masalah manajemen data. Misalnya, mengubah durasi pelaporan dari harian menjadi mingguan atau bulanan.

"Angka kematian akibat Covid-19 ini tetap harus dapat diungkapkan oleh pemerintah kepada masyarakat. Ada makna positif dengan tetap diumumkannya angka kematian akibat corona ini," ujar Guspardi.

Juru Bicara Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Jodi Mahardi menjelaskan perihal tak dimasukkannya angka kematian dalam asesmen level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Menurut dia, pemerintah bukannya menghapus data angka kematian, melainkan tak menggunakannya untuk sementara waktu guna menghindari distorsi penilaian.

"Bukan dihapus, hanya tidak dipakai sementara waktu karena ditemukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang, sehingga menimbulkan distorsi atau bias dalam penilaian," jelasnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (11/8).

Pemerintah, lanjut Jodi, menemukan bahwa banyak angka kematian yang ditumpuk-tumpuk atau dicicil pelaporannya, sehingga dilaporkan terlambat. "Jadi terjadi distorsi atau bias pada analisis, sehingga sulit menilai perkembangan situasi satu daerah," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement