REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Jenderal (Purn) Moeldoko, melayangkan somasi kedua terhadap Indonesian Corruption Watch (ICW). Teguran kedua ini, diundangkan oleh tim kuasa hukum Moeldoko, setelah permintaan serupa yang dilakukan pada pekan lalu, tak mendapatkan respons positif dari lembaga sipil masyarakat pemerhati hukum dan korupsi tersebut.
Kuasa Hukum Moeldoko, Otto Hasibuan, mengatakan pihaknya memberikan waktu yang lebih panjang terhadap ICW, terkait somasi kedua kali ini. "Kalau kemarin (pada somasi pertama) kita berikan waktu 1x24 jam. Kali ini (somasi kedua), kalau tidak cukup, bila perlu kita berikan waktu 3x24 jam kepada ICW," ujar Otto, saat konfrensi pers daring, Kamis (5/8).
Seperti somasi pertama, yang dilayangkan Moeldoko, 29 Juli lalu. Pada somasi kedua kali ini, kata Otto, kliennya, pun menuntut yang sama terhadap ICW. Yaitu, agar ICW menyampaikan bukti-bukti, terkait peran Moeldoko terkait keterlibatan mencari keuntungan pribadi, dan perburuanrente dalam peredaran, maupun pemasaran obat pereda Covid-19, Ivermectin di masyarakat.
Selanjutnya, kata Otto, juga agar ICW, menyampaikan bukti-bukti, keterlibatan Moeldoko, dalam mencari keuntungan pribadi, terkait dugaan skandal ekspor beras. "Itulah yang kami mintakan kepada ICW untuk membuktikan. Kalau ICW bisa memberikan bukti-bukti keterlibatan klien kami, Pak Moeldoko, kami nyatakan tegas, siap mempertanggungajawabkan, baik secara moral, maupun secara hukum," kata Otto.
Akan tetapi sebaliknya, Otto meyakinkan, jika pun tak mampu membuktikan tuduhannya itu, Moeldoko hanya ingin agar ICW, meminta maaf terbuka, dan mencabut perilisannya tentang Polemik Ivermectin: Berburu Rente di Tengah Krisis.
"Jadi, dengan kebesaran hati klien kami, Pak Moeldoko juga tidak langsung membawa persoalan ini ke polisi. Tetapi, klien kami, Pak Moeldoko meminta, supaya ICW, mencabut tuduhannya itu. Karena tuduhan ini menyangkut, harkat dan martabat, serta nama baik beliau (Moeldoko)," ujar Otto.
Otto menambahkan, jika sikap ICW tetap bertahan, dan tak menggubris somasi, serta menolak memberikan bukti-bukti tuduhannya itu, tim hukum Moeldoko akan memberikan saran agar mengambil jalan hukum. "Kami (tim hukum) sudah berdiskusi, bahwa kami berpendapat, perbuatan ini sebenarnya sudah memenuhi unsur pidana. Tapi Pak Moeldoko, tidak ingin menggunakan haknya secara langsung dengan melaporkan. Klien kami meminta penyelesaian yang baik, dan jujur," ujar Otto.
Pekan lalu, ICW memaparkan terbuka hasil temuan, dan investagasi terkait dengan kampanye, dan pemasaran ivermectim. Dalam risalah berjudul Polemik Ivermectin: Berburu Rente di Tengah Krisis, pekan lalu, ICW mengatakan adanya dugaan praktik-praktik koruptif berupa perdagangan pengaruh yang dilakukan sejumlah pejabat, dan politikus dalam peredaran ivermectim di masa pandemi Covid-19.
Dalam temuannya, ICW menyebutkan adanya dugaan keterlibatan Moeldoko, lewat peran putrinya Joanina Rachma yang juga staf di kepresidenan dalam produksi, dan peredaran ivermectin. Obat yang dikatakan dapat meringankan penderita Covid-19 tersebut, diproduksi oleh PT Harsen Lab. Produsen farmasi itu, dikelola Sofia Koswara, rekan bisnus Joanina, yang turut memegang kepemilikan saham di PT Noorpay Perkasa.
Dalam temuannya itu, ICW juga menyebutkan adanya keterlibatan politikus PDI Perjuangan Ribka Tjiptaning, dan putranya Riyo Kristianto Utomo. Masih menurut temuan itu, disebutkan pula kongkalikong antara Sofia, dalam bisnis ekspor beras dengan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), organisasi yang dipimpin Moeldoko. Menanggapi hasil investigasi tersebut, Moeldoko, maupun Ribka Tjiptaning menolak tuduhan ICW itu, dan mengancam membawa pemaparan tersebut ke ranah hukum.
Terkait ancaman Moeldoko kepada ICW tersebut, pada Jumat (30/7), sekitar 109 lembaga pegiat hukum, dan sipil, serta puluhan badan eksekutif mahasiswa (BEM), mendesak agar Moeldoko mencabut somasi, dan menghentikan ancaman hukum terhadap ICW. Menurut koalisi sipil tersebut, aksi somasi, dan ancaman ke jalur hukum terhadap ICW, adalah bentuk gamblang dari arogansi, dan sikap represif pejabat negara terhadap kelompok masyarakat yang melakukan fungsi pengawasan pemerintah.