REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR— Ratusan pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor mengibarkan bendera putih di lapaknya masing-masing. Pengibaran bendera putih tersebut merupakan bentuk protes para PKL terhadap pemerintah yang terus memperpanjang PPKM Level 4.
Pantauan Republika.co.id di kawasan Puncak, bendera putih tersebut dikibarkan di depan warung masing-masing, terutama di kawasan wisata Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Tak hanya itu, para penjaja penyewaan villa juga mengibarkan bendera putih di atas tempat mereka menjajakan villa.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Puncak Cisarua Bogor, Teguh Mulyana mengatakan, sebagian besar pedagang yang memasang bendera putih berada di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua. “Mereka memasang bendera putih menyampaikan unek-unek PPKM diperpanjang, mengharapkan ada kelonggaran biar masyarakat atau wisatawan bisa masuk ke sini,” kata Teguh kepada Republika.co.id, Kamis (5/8).
Teguh mengatakan, dengan memasang bendera, para pedagang dapat menyampaikan protesnya tanpa aksi demo. Di samping menyampaikan protesnya, Teguh mengatakan, para pedagang dan usaha lain yang terdampak PPKM sebagian besar menyerah.
Dimana, beberapa di antaranya sudah gulung tikar sejak PPKM Darurat Jawa-Bali diterapkan. “Karena walaupun ada pelonggaran, wisatawan nggak ada yang mau ke kawasan Puncak,” tuturnya.
Lebih lanjut, Teguh menuturkan, melalui aksi ini para pedagang ingin menunjukkan kepada pihak terkait mengenai keberadaan mereka. Sebab, jumlah PKL di Puncak jumlahnya tidak hanya 10 orang, namun ada ribuan.
Diharapkan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor dan dinas terkait bisa merespons dan memperhatikan warga yang 80 persennya mencari nafkah dari pariwisata. “Mereka tidak bisa menafkahi istri dan anak-anaknya. Dengan aksi pemasangan kain putih hanya memperlihatkan bahwa pariwisata di kawasan Puncak terpuruk,” jelasnya.
Republika.co.id mendapati salah seorang pedagang di kawasan Puncak, Hammid (51 tahun) tengah memasang bendera putih di dekat lapak dagangannya. Pria berkacamata ini sehari-hari berjualan nasi rames dan gorengan.
Sejak diterapkan PPKM, ia bersama keluarga mengaku sangat kesulitan. Sebab, penghasilan hariannya turun drastis lebih dari 50 persen. “Anjlok banget, buat makan aja susah. Paling besar pendapatan saya itu dalam satu hari cuma Rp 100 ribu, padahal biasanya bisa sampai Rp 350 ribu. Belum buat belanja bahan belum buat makan sehari-hari. Pokoknya serba sulit,” keluhnya.
Dia mengaku sudah berjualan belasan tahun di kawasan Puncak Bogor. Melihat keadaan ini, dia tak ingin terlalu banyak berharap kepada bantuan dari pemerintah. Sebab, dia hanya ingin pendapatan hariannya kembali normal.
“Kalau bantuan sosial dari pemerintah paling hanya cukup buat seminggu. Terus nanti sisanya kami bagaimana. Yang saya ingin pemerintah ikut memikirkan nasib kami sebagai rakyat,” ujarnya.