Jumat 30 Jul 2021 09:24 WIB

Parpol, DPR, dan Birokrasi Muskil Penanggulangan Covid-19

Kader parpol menjadi 'biang kerok' menyalahgunakan bansos untuk penanggulangan Covid.

Area kompleks gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, yang menjadi kantor bagi politikus yang terpilih sebagai wakil rakyat.
Foto: Prayogi/Republika
Area kompleks gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta Pusat, yang menjadi kantor bagi politikus yang terpilih sebagai wakil rakyat.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Peran partai politik (parpol_ dan lembaga representasi, sangat muskil untuk tidak dikatakan absen dalam menginspirasi ide-ide terobosan dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Kecenderungan yang sama juga terjadi pada lembaga birokrasi. Silang sengkarut implementasi kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19, merupakan salah satu indikasi lemahnya kapasitas lembaga birokrasi.

Demikian kesimpulan pakar politik Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional (Unas) Prof Dr Syarif Hidayat, MA dalam Konferensi Nasional Ilmu Sosial ke-1 dengan tema 'Solidaritas, Kreativitas & Konetivitas'. Konferensi mengkaji dari ilmu politik, ilmu hubungan internasional, sosiologi dan ilmu komunikasi. Fokus masalah penanganan Covid-19 yang diselenggarakan secara virtual dengan tuan rumah Unas di Jakarta, Rabu (28/7).

Konferensi ini merupakan konsorsium publikasi ilmiah bidang ilmu sosial bekerjasama dengan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III (LLDIKTI III) DKI Jakarta. Tampil sebagai pembicara kunci Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Acara dibuka Wakil Rektor Unas bidang akademik dan kemahasiswaan Dr Suryono Effendi. Ditutup oleh Ketua LLDIKTI III Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Agus Setyo Budi, M.Sc.

Prof Dr Syarif Hidayat melanjutkan, jika ditilik persentase partisipasi pemilih (voterturnout) pada Pemilu Legislatif tahun 2019 menunjukkan capaian yang sangat tinggi, yaitu sebesar 81 persen. Bahkan terjadi peningkatan bila dibandingkan dengan voterturnout pada Pemilu Legislatif  tahun 2014, sebesar 75 persen.

Dari angka tersebut, kata peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengisyaratkan pada Pemilu Legislatif tahun 2019 sebanyak 80 persen masyarakat pemilih di Indonesia telah mengamanahkan ‘suaranya’ kepada para kader parpol, yang selanjutnya menduduki kursi di lembaga representatif.  

Kebisingan poltik

Dikemukakan, secara teoritis, vote yang diamanahkan oleh masyarakat pada saat Pemilu tersebut, harus ditindak lanjuti oleh para kader parpol setelah mereka menduduki kursi di lembaga representatif dalam bentuk voice. Ironisnya, alih-alih menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi rakyat agar dapat ditindak lanjuti oleh lembaga eksekutif dalam bentuk kebijakan (voice).

“Kecenderungannya, justru sebaliknya, lembaga representatif lebih banyak memproduksi political noices (kebisingan politik). Realitas inilah yang saya sebut dengan terminologi vote minus voice,” ujar dosen pada sekolah pascasarjana program magister dan doktoral Ilmu Politik Unas.

Menurutnya, kecenderungan yang sama juga terjadi pada lembaga birokrasi. Kondisi ini sangat disadari oleh Presiden Jokowi. Misalnya saja, pada rapat terbatas di Istana Merdeka, 3 Agustus 2020, Presiden Jokowi mengungkapkan kekecewaannya atas realisasi anggaran yang masih sangat minim.

Presiden, lanjut Syarif, menyebut jajarannya masih terjebak cara kerja rutin dan tak tahu prioritas yang harus dikerjakan, dan regulasi juga membelit. Pernyataan Presiden Jokowi ini secara implisit mengisyaratkan semangat Perppu Nomor1 Tahun 2020 sebagai upaya untuk menjawab kondisi darurat (extraordinary) akibat pandemi Covid-19, belum dioperasionalkan secara optimal oleh jajaran Kementerian karena mereka masih terjebak dalam cara kerja rutin (ordinary).

Bahkan celakanya, terjadi kasus seperti yang dilakukan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Kader parpol menjadi 'biang kerok' menyalahgunakan bantuan sosial untuk penanggulangan Covid-19. Dalam kasus ini, kemarin jaksa penuntut umum memberikan tuntutan untuk Juliari Batubara, kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) penjara selama 11 tahun.

Syarif menyayangkan kurang berfungsinya parpol dalam penanganan pandemi Covid-19. Tidak seperti dalam kasus-kasus bencana lainnya, di mana bendera-bendera partai berkibar di sejumlah tempat. "Kini yang ada partai politik malah sibuk menempelkan lambang-lambang partai pada tas atau kotak bantuan sosial untuk masyarakat."

Stagnasi

Ia mengakui, diskursus kontemporer tentang kinerja demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru, cenderung bermuara pada postulat yang sama, yaitu demokrasi di Tanah Air sedang mengalami stagnasi. Bahkan lebih dari itu, beberapa akademisi telah meggunakan terminologi yang lebih tajam dan terkesan tendensius dalam melabeli realitas yang terjadi.

Misalnya dengan sebutan democratic in decline, democratic backsliding, dan democratic regression (demokrasi dalam kemunduran, kemunduran demokrasi, dan mundurnya demokrasi). Syarif berupaya mengulik kinerja lembaga demokrasi di Indonesia, dengan fokus perhatian pada membedah peran parpol, birokrasi pemerintah, dan lembaga perwakilan.

Lantaran tiga lembaga ini ditengarai berkontribusi signifikan terhadap terjadinya stagnasi, atau bahkan arus-balik demokrasi (democratic u-turn). Ia mengungkapkan, kehadiran pandemi Covid-19 sejak awal tahun 2020 yang lalu, telah menyodorkan pelajaran yang sangat berharga bagi Indonesia.

Secara nyata telah menguji apakah lembaga demokrasi di Indonesia, utamanya parpol, lembaga perwakitan, dan birokrasi, telah menunjukkan ‘jati diri dan kapasitasnya’ dalam menginisiasi maupun implementasi program penanggulan virus corona yang meresahkan tersebut.

"Ternyata, realitas mengindikasikan, tiga lembaga demokrasi tersebut cenderung terlihat hanya nyata dalam struktur, tetapi tidak kentara dalam fungsi," ujar Syarif, menyesalkan.  

Secara keseluruhan, ia mengindikasikan reformasi yang berlangsung dalam dua dekade terakhir, baru sampai pada menghadirkan lembaga dan prosedur demokrasi (reformasi institusi). Sementara, penguatan kapasitas yang semestinya dimiliki lembaga demokrasi, relatif kurang mendapat perhatian yang serius.

Membangun citra

Dalam melakukan reformasi institusi demokrasi itu pun, kata doktor ilmu politik itu, terkesan lebih ditekankan pada upaya membangun citra demokrasi (democratic image). Implikasinya, tidak mengherankan jika kehadiran lembaga demokrasi sejauh ini terlihat sangat nyata dalam citra, tetapi tidak kentara dalam fungsi.

Satu di antara bahaya yang akan terjadi sebagai akibat dari terus melapuknya fungsi lembaga demokrasi adalah, bermetamorfosisnya praktik procedural democracy menjadi elusive democracy, sebagaimana telah terjadi di Mexico.

Di antara karakteristik utama dari paraktik elusive democracy tersebut menurut ahli politik Olvera, penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan efektif karena semua posisi strategis pada lembaga negara ‘dibajak’ oleh parpol. Selain itu lembaga demokrasi lebih banyak difungsikan sebagai instrumen bagi parpol untuk mendapatkan kepentingan ekonomi dan politik.

Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya democratic institutional decay, maka dalam waktu dekat upaya untuk meningkatkan kapasitas lembaga demokrasi di Tanah Air menjadi penting untuk dilakukan. Di antara lembaga demokrasi yang telah berkontribusi terhadap terjadinya stagnasi demokrasi di Indonesia, dan niscaya mendapat perhatian khusus dalam peningkatan kapasitasnya adalah: partai politik, lembaga representatif, dan birokrasi.

"Bila dibuat skala prioritas, maka upaya peningkatan kapasitas partai politik seyogiaya harus menjadi arus-utama,” ungkap Syarif.

Di antara langkah-langkah yang harus dilakukan dalam waktu dekat untuk meningkatkan kapasitas parpol, menurutnya ada lima hal. Pertama. demokratisasi partai politik untuk mengatasi praktik oligarki. Kedua, memberlakukan akreditasi partai politik dalam melaksanakan fungsinya.

Ketiga, meningkatkan kaderisasi parpol untuk menghasilkan politisi andal/profesional dan berkualifikasi. Keempat, menerapkan promosi kader parpol berdasarkan sistem merit. Kelima, mengakhiri praktik politik transaksionis dalam organisasi parpol.

Selain Prof Dr Syarif Hidayat, tampil sebagai pembicara lainnya, untuk bidang ilmu komunikasi Prof Dr Rudy Harjanto dari Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) Jakarta, bidang sosiologi Dr Erna Ermawati Chotim dari Unas, dan bidang hubungan internasional Prof Dr Arry Bainus dari Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung. Acara dimoderatori Dr Verdinand Robertua dari Universitas Kristen Indonesia (UKI).

Kegiatan ini terselenggara atas inisiasi dari beberapa universitas yang tergabung dalam konsorsium publikasi ilmiah bidang ilmu sosial yang dibentuk oleh LLDIKTI Wilayah III Jakarta. Adapun anggota konsorsium pertama ini: Unas sebagai tuan rumah, Universitas Prof Moestopo (beragama), Universitas Pelita Harapan, Universitas Muhammadiyah Jakarta, UKI, Universitas Bakrie, dan Universitas Bina Nusantara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement