Kamis 29 Jul 2021 21:08 WIB

Pinangki dan Djoko dapat Korting Hukuman, Bonaparte tidak

Bonaparte tetap harus menjalani vonis 4 tahun penjara dalam perkara Djoko Tjandra.

Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte.
Foto:

Pengurangan masa hukuman penjara untuk Pinangki dan Djoko Tjandra menuai kritik dari kalangan praktisi hukum dan masyarakat sipil. Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra menilai, bahwa hukum di Indonesia bisa dikurangi dan tidak dihukum sesuai perbuatannya.

"Terkait putusan Majelis Hakim PT DKI Jakarta atas kasus Djoko Tjandra dan Pinangki ini menunjukkan kalau makna negara hukum bisa bergeser menjadi negara hukuman diskon. Hakim dalam perkara ini sudah hilang kepekaan hati nuraninya dan integritas kepribadian," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Kamis (29/7).

Kemudian, ia melanjutkan, majelis hakim bersembunyi di balik kewenangan bahwa putusan penilaian hakim menjadi independensi kehakiman dan mengaburkan asas kepatutan serta rasa keadilan masyarakat. Majelis hakim yang sepakat untuk mendiskon putusan patut dipertanyakan kepekaan nuraninya.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, melihat atas perbuatan pelaku merupakan sebab hal yang memberatkan sehingga dijatuhi hukuman yang maksimal. Namun, anehnya di tingkat banding, fakta perbuatan pelaku yang menjadi hal-hal yang memberatkan oleh Majelis Pengadilan Tinggi malah di diskon putusannya dan argumentasi putusan berlawanan dan terlihat seolah menjadi pertarungan kewenangan.

Menurut Azmi, bila pertimbangan hukum diabaikan oleh hakim, maka wibawa hukum semakin sangat direndahkan dan merusak lembaga peradilan. Majelis hakim dinilai sudah kehilangan motivasi untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan kehormatan hukum.

"Pertimbangan hukum menjadi wajib karena hakim harus memberikan penjelasan tentang fakta yang terbukti dan penafsiran hukum yang diberlakukan atas kasus ini terkesan majelis hakim mengabaikan hal ini. Karenanya patut diduga ada muatan lain  yang nempel pada putusan hakim yang menggeser pertimbangan maupun hal-hal yang memberatkan menjadi hal yang meringankan sehingga menjadikan putusan ini di diskon," kata dia.

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menilai majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersandera dengan putusan inkrah jaksa Pinangki Sirna Malasari. Karena, kata Boyamin, Pinangki selaku penerima suap telah divonis empat tahun penjara di tingkat banding. Hal itulah yang membuat hukuman Djoko sebagai pemberi suap lebih ringan daripada Pinangki.

"Nampaknya hakim tersandera dengan putusan Pinangki karena sudah terlanjur divonis empat tahun. Maka, [hukuman] penyuapnya [Djoko Tjandra] adalah di bawah yang disuap. Rumus hukum di Indonesia memang begitu," kata Boyamin melalui pesan suara, Kamis (29/7).

Ia menilai penanganan perkara korupsi yang melibatkan sejumlah aparat penegak hukum ini pelik. Boyamin lantas menyoroti komposisi hakim yang mengadili perkara Djoko Tjandra dan Pinangki.

Diketahui, dua perkara itu diadili oleh hakim ketua Muhammad Yusuf. Dengan anggota masing-masing Haryono, Singgih Budi Prakoso, dan Reny Halida Ilham Malik.

"Nampaknya yang bermasalah justru hakim tingkat banding yang memvonis Pinangki turun dari 10 jadi 4 (tahun penjara). Kemudian, hakimnya ada yang sama. Kita sulit berharap kasus Djoko Tjandra tidak diturunkan," tutur dia.

"Ini sudah nabrak tembok betul dengan putusan Pinangki kemudian jaksa tidak kasasi, putusan jadi inkrah," tambahnya.

Menanggapi putusan banding, kuasa hukum Djoko Tjandra, Soesilo Aribowo menilai putusan Pengadilan Tinggi DKI masih terlalu berat bagi kliennya. Soesilo menilai tak ada bukti kliennya menyuap Pinangki, Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo.  

"Saya berpendapat, itu pun masih berat karena tidak ada bukti yang terang benderang bahwa Pak Djoko Tjandra itu menyuap Jaksa Pinangki dan para jenderal itu," kata Soesilo saat dikonfirmasi, Kamis (29/7).

photo
Skandal Djoko Tjandra - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement