Kamis 29 Jul 2021 13:42 WIB

Tuntutan Hukuman Mati yang tak Jadi untuk Juliari

Tuntutan 11 tahun dinilai terlalu rendah atas korupsi yang dilakukan Juliari.

Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara menjalani sidang pembacaan tuntutan kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) COVID-19 secara virtual di gedung KPK, Jakarta, Rabu (28/7/2021). Juliari Batubara dituntut 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bansos sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek.
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara menjalani sidang pembacaan tuntutan kasus korupsi Bantuan Sosial (Bansos) COVID-19 secara virtual di gedung KPK, Jakarta, Rabu (28/7/2021). Juliari Batubara dituntut 11 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bansos sembako COVID-19 di wilayah Jabodetabek.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Dian Fath Risalah

Terdakwa penerima suap bantuan sosial (bansos), mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, dituntut 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Juliari juga dituntut pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp 14,5 miliar. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut tapi menghilangkan tuntutan hukuman mati ke Juliari.

Baca Juga

KPK menjelaskan alasan Juliari tidak dituntut dengan hukuman mati. KPK menyebutkan bahwa tuntutan terhadap mantan menteri sosial itu dilakukan sesuai fakta penyidikan.

"Dalam perkara ini terdakwa dituntut terkait pasal suap, bukan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Penerapan pasal tentu karena berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penyidikan," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri di Jakarta, Kamis (29/7).

Dia mengatakan, KPK melakukan tuntutan terhadap terdakwa berdasarkan fakta-fakta hasil persidangan perkara dimaksud. Dia melanjutkan, tuntutan dibuat bukan karena pengaruh adanya opini, keinginan maupun desakan pihak manapun.

"Pertimbangan alasan memberatkan dan meringankan juga menjadi dasar dalam menuntut baik pidana penjara, uang pengganti maupun denda dan pencabutan hak politik," katanya.

Ali mengatakan, jaksa KPK tentu juga memiliki dasar hukum kuat dalam melakukan tuntutan uang pengganti terhadap terdakwa Juliari Peter Batubara. Dia melanjutkan, KPK berharap majelis hakim akan mengabulkan seluruh tuntutan tim JPU

Dia mengatakan, JPU KPK dalam perkara ini juga menuntut uang pengganti yang dapat diganti hukuman penjara bila tidak dibayarkan sebagai pemberatan tuntutan. Lanjutnya, tambahan hukuman itu biasanya dikenakan pada terdakwa korupsi yang menimbulkan kerugian negara.

"Perlu juga kami sampaikan, sekalipun dalam beberapa perkara Tipikor, uang pengganti dibebankan kepada terdakwa dalam perkara yang berhubungan dengan penerapan Pasal 2 atau 3 UU Tipikor yaitu yang berhubungan dengan kerugian negara," katanya.

Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri pernah menyebut Juliari Batubara bisa diancam dengan hukuman mati. Ancaman mati dapat diberikan sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 yang menyebutkan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu maka pidana mati dapat dijatuhkan.

Mantan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, menilai tuntutan 11 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Juliari tidak bisa mengobati penderitaan masyarakat. "Di tengah kondisi pandemi Covid-19 ini, tuntutan untuk terdakwa korupsi bansos Covid-19 hanya 11 tahun saya rasa tidak bisa mengobati penderitaan masyarakat yang menjadi korban korupsi Bansos," kata Febri dalam keterangan tertulis.

Padahal, kata Febri, dalam Pasal 12 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dikenakan terhadap Juliari, ancaman pidananya maksimal penjara seumur hidup atau 20 tahun.  "Ancaman hukuman maksimal adalah 20 tahun atau seumur hidup. Jauh sekali dari ancaman maksimal," ujarnya.

Aktivis antikorupsi dari Visi Integritas itu mengingatkan KPK juga mempunyai pekerjaan rumah untuk mengusut pihak-pihak lain yang diduga terlibat dan mendapat keuntungan. Terlebih, penanganan kasus bansos memunculkan sejumlah kontroversi.

"Mulai dari nama-nama politikus yang muncul tapi tidak jelas proses lanjutannya, sampai pada para penyidik bansos yang disingkirkan menggunakan alat TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) yang bermasalah secara hukum," kata Febri.

Indonesia Corruption Watch (ICW) jug menilai ganjil tuntutan terhadap Juliari. ICW menyebut tuntutan pidana terlalu rendah dan jauh dari semangat pemberantasan korupsi.

"Padahal, pimpinan KPK telah sesumbar menyatakan akan menghukum berat koruptor bansos Covid-19," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana di Jakarta, Kamis (29/7).

ICW menilai, ringannya tuntutan tersebut semakin menggambarkan keengganan KPK menindak tegas pelaku korupsi bansos. Kurnia mengatakan, padahal landasan hukum yang menjadi alas tuntutannya adalah Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dia melanjutkan, pasal tersebut sebenarnya mengakomodir penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar. Dia mengatakan, tuntutan pembayaran pidana tambahan uang pengganti juga jauh dari memuaskan mengingat besaran tersebut kurang dari 50 persen dari total nilai suap yang diterima Juliari.

"Tuntutan yang rendah ini kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement