Selasa 27 Jul 2021 15:45 WIB

Temuan Paramadina: Pandemi Buat Religiositas Masyarakat Naik

Masyarakat Indonesia banyak mengaitkan pandemi Covid-19 dengan Tuhan.

Dosen Universitas Paramadina, Abdul Malik Gismar.
Foto: Republika/Erik PP
Dosen Universitas Paramadina, Abdul Malik Gismar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Abdul Malik Gismar mengatakan, pandemi Covid-19 membuat masyarakat Indonesia semakin religius. Pendapat itu didasarkan data hasil analisis status di Facebook pada periode 1 Januari-23 Juli 2021, yang diolah dengan Crowdtangle.

Malik pun mengutip penelitian bersama Ika Karlina Idris, yang hasilnya menemukan total 786,6 ribu percakapan, yang terdiri 140,5 juta interaksi, yang membahas soal pandemi Covid-19. Menurut dia, percakapan soal Covid-19 selalu tinggi dan menjadi yang utama dibahas.

"Komen paling tinggi seputar religiositas dan Covid. Covid dikaitkan dengan religiositas. Bicara Covid, bicara Tuhan dan seputar agama. Ini agama lintas agama ya, bukan Islam, Kristen, atau Hindu, dan Budha," ujar Malik dalam webinar bertema 'Evaluasi Kebijakan Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia' di Jakarta, Selasa (27/7).

Menurut dia, data di Facebook menunjukkan, Covid-19 banyak dikaitkan masyarakat dengan Allah atau Tuhan, yang angkanya sangat tinggi. Bagi masyarakat Indonesia, sambung dia, Covid menjadi sesuatu yang misterius dan menggetarkan hati.

"Covid menjadi mysterium tremendum. Biasanya orang kalau orang dihadapkan ini, memang kembali kepada Tuhan. Berserah diri kepada Tuhan. Ini menimbulkan ketidakpastian, keresahan, dan ini memunculkan rumor hoax. Sisi lain, memuncukan sikap berserah. Baiknya, berserah diri memunculkan harapan, hope suatu hal yang sangat baik,” ujar Malik.

Sayangnya, kata dia, di sisi lain, hal itu juga memunculkan fenomena fatalisme. Malik menyebut, karena seseorang dengan anggapan berserah diri dan percaya saja kepada Tuhan yang akan menyelematkan dari pandemi.

Sehingga ada kelompok masyarakat yang akhirnya mengabaikan protokol kesehatan (prokes), karena merasa sudah berserah diri kepada Tuhan. "Di satu sisi positif, dan punya potensi negatif," ujar Malik.

Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini menyinggung kegagalan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19, yang disebabkan oleh beberapa faktor. Di antaranya, sikap denial pemerintah pada awal pandemi yang menyebabkan Indonesia kehilangan golden time (momentum emas) pengendalian pandemi.

Selain itu, organisasi penanganan krisis yang tidak solid dilakukan pemerintah, yang ditandai dengan berganti-gantinya komando penanganan Covid. "Serta komitmen pemerintah yang lemah terhadap stakeholders dan mitra, seperti (insentif) tenaga kesehatan belum dibayar dan pihak rumah sakit," ujar Didik.

Managing Director PPPI Ahmad Khoirul Umam juga melontarkan kritik terhadap kebijakan penanganan pandemi. Menurut dia, telah terjadi mismanagement penanganan pandemi oleh pemerintah. Mismanagement itu, sambung dia, akibat dari kegagalan kalkulasi yang dilakukan pemerintah sejak dari awal bahkan hingga saat ini.

Umam mencontohkan, pengiriman bantuan tabung oksigen ke India tanpa mengkalkulasi secara proper risiko yang dihadapi Indonesia sendiri. Akibatnya, terjadi kelangkaan oksigen saat Indonesia dihantam oleh ledakan kasus pada bulan Juni-Juli kemarin, yang menyebabkan hilangnya nyawa pasien Covid di sejumlah rumah sakit di berbagai wilayah di Indonesia.

"Hal ini menunjukkan pemerintah telah gagal dalam melindungi warganya," ujar Umam. Dia juga menyoroti lemahnya ketegasan kebijakan imigrasi pemerintah yang gagal mengantisipasi risiko penyebaran varian Delta dari India.

Umam juga menyinggung mengapa pemerintah memlih membeli vaksin Sinovac, bukan AstraZeneca. Hal itu lantaran efikasi Astrazeneca disebut paling tinggi di dunia dibandingkan vaksin lain. Belum lagi, salah satu penemu vaksin asal Universitas Oxford, Inggris, Prof Sarah Gilbert sudah melepas hak paten.

Sehingga jika diproduksi Indonesia maka harganya bisa lebih murah. Sayangnya, pemerintah lebih memilih membeli vaksin dari Cina. "Pemerintah harus menjelaskan mengapa pilih Sinovac, tidak AstraZeneca?" kata Umam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement