REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyebutkan pedagang kaki lima sangat terdampak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. PKL di DIY membutuhkan stimulus modal kerja untuk bisa berjualan kembali.
"Kami berharap ada stimulan ekonomi sehingga mereka bisa beraktivitas berjualan seperti semula," kata Ketua APKLI DIY Mukhlas Madani saat konferensi pers secara virtual di Yogyakarta, Jumat (9/7).
Mukhlas menuturkan selama PPKM Darurat sebagian besar pedagang kali lima anggota APKLI libur berjualan. Kondisi ini membuat mereka terpuruk, bukan hanya mengalami penurunan omzet, bahkan telah mengalami defisit.
Sejumlah laporan mengenai penurunan omzet antara lain muncul dari para pedagang kaki lima di Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul, yang sama sekali tidak ada pembeli, sehingga omzet mereka pun merosot hingga 80 persen. Kondisi serupa juga disampaikan para pedagang di kawasan Malioboro, Yogyakarta. Bukan hanya mengalami penurunan omzet, bahkan pendapatan mereka telah minus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Pedagang angkringan Malioboro telepon saya, bahkan bukan hanya omzet saja, tapi mereka sudah minus. Jadi situasi kaki lima kondisinya sangat terpuruk," kata dia.
Oleh sebab itu, menurut dia, selain membutuhkan ruang dan waktu, para pedagang kali lima juga membutuhkan stimulus permodalan dari pemerintah. "Kalaupun tidak ada, diharapkan ada bantuan hidup seperti sembako. Memang sampai saat ini bantuan itu belum ada," kata dia.
Mukhlas menyebut jumlah pedagang kali lima anggota APKLI di lima kabupaten/kota di DIY mencapai 20.000 orang. Namun demikian, jumlah itu berkurang signifikan lantaran banyak yang sudah tidak berjualan karena terkendala modal selama pandemi.
"Keberadaan pedagang kaki lima strategis menurunkan angka pengangguran di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Kami berharap ada stimulan ekonomi sehingga mereka bisa beraktivitas berjualan seperti semula," ujar Mukhlas.