Senin 05 Jul 2021 15:20 WIB

Kelangkaan Oksigen Terus Terjadi, Nakes Pun Jadi Korban

Pemerintah terus berupaya mengatasi kecukupan kebutuhan oksigen medis.

Tenaga kesehatan membawa tabung oksigen untuk pasien Covid-19 di tenda darurat khusus Covid-19 Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Yogyakarta, Ahad (4/7). Posko Dukungan Operasi Satgas COVID-19 BPBD DIY mengonfirmasi sebanyak 63 pasien di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta meninggal dunia dalam sehari semalam pada Sabtu (3/7) hingga Ahad (4/7) pagi akibat menipisnya stok oksigen.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Tenaga kesehatan membawa tabung oksigen untuk pasien Covid-19 di tenda darurat khusus Covid-19 Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Yogyakarta, Ahad (4/7). Posko Dukungan Operasi Satgas COVID-19 BPBD DIY mengonfirmasi sebanyak 63 pasien di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta meninggal dunia dalam sehari semalam pada Sabtu (3/7) hingga Ahad (4/7) pagi akibat menipisnya stok oksigen.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Muhammad Fauzi Ridwan, Silvy Dian Setiawan, Antara

Kelangkaan oksigen menjadi isu serius terutama di Pulau Jawa seiring kenaikan kasus Covid-19. Masyarakat yang membutuhkan oksigen bahkan tak segan mengambil tindakan demi menolong keluarga atau kerabatnya.

Baca Juga

Insiden terbaru terjadi kemarin Seorang tenaga kesehatan mengalami kekerasan karena masyarakat yang main hakim sendiri saat tidak mendapatkan tabung oksigen. Sekretaris Jenderal Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi), Lia Gardenia Partakusuma, memaparkan peristiwa tersebut saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Senin (5/7).

"Ini ada yang baru kita terima, tanggal 4 Juli kemarin, ternyata tabung oksigen juga bisa menyebabkan adanya pemukulan oleh masyarakat kepada petugas kesehatan," kata Lia.

Ia berharap agar para nakes dalam menjalankan tugasnya mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum. Lia mengatakan para nakes tersebut bukannya tidak ingin mengeluarkan oksigen tersebut dari fasyankes.

Sebenarnya memang ada syarat yang dipenuhi untuk menggunakan oksigen. "Bagaimana oksigen ini dibutuhkan bukan hanya untuk sekedar menggantikan sesak napas. Ada cara-cara untuk terapinya," ujarnya.

Dia berharap masyarakat memahami ketersediaan oksigen saat ini. Hal tersebut menurutnya bukan karena keberadaannya langka, melainkan bagaimana distribusinya bisa disampaikan dalam waktu yang tepat.

"Bayangkan yang biasanya seminggu dua kali dikirim oksigen liquid, pada satu hari pagi sudah diisi sore sudah minta diisi lagi. Nah, yang seperti itu yang tidak bisa kami hindarkan," ucapnya.

Dia mengucapkan terima kasih kepada Kemenkes dan kepolisian yang telah mendampingi rumah sakit untuk mencari ketersediaan oksigen dan mengirimkannya ke RS-RS. Lia juga bersyukur adanya bantuan berbagai mitra industri yang juga sudah mengirimkan bantuan oksigen.

"Di sini kami sangat mengharapkan adanya Dinas Kesehatan berperan dalam mengatur pembagian RS," ucapnya.

"Jadi, kami mohon maaf betul, ada beberapa RS yang kami tidak bisa hindari untuk mereka tidak melakukan kegiatan. Sebetulnya mereka tidak melakukan kegiatan, tapi apabila ada yang membutuhkan oksigen mereka khawatir kalau dituntut oleh masyarakat karena tidak bisa melayani dengan baik," imbuhnya.

Upaya pemerintah untuk mengatasi kebutuhan oksigen masih belum mencukupi. Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Kota Bandung mengungkapkan, saat ini rumah sakit di Kota Kembang tersebut defisit oksigen. Kondisi tersebut terjadi disebabkan kebutuhan yang tinggi tidak berbanding lurus dengan produksi yang ada.

Kepala Disdagin Kota Bandung Elly Wasliah mengatakan, kebutuhan pemakaian oksigen di rumah sakit saat ini tidak seimbang dengan pasokan yang ada. Kondisi tersebut semakin tidak seimbang karena terjadi penambahan tempat tidur bagi pasien Covid-19.

"Lonjakan pasien ini yang belum diantisipasi oleh filling station (stasiun pengisian oksigen) lonjakan atau tambahan bed-nya ini, memang jadi sekarang defisit," ujarnya kepada wartawan, Senin (5/7).

Ia mengaku sempat mengatakan pasokan oksigen relatif aman beberapa waktu ke belakang sebab kebutuhan permintaan oksigen dari rumah sakit masih bisa tertutupi, bahkan terdapat cadangan oksigen. Namun, saat ini permintaan sudah melebihi dari pasokan yang ada.

"Sekarang sudah sama dan lebih, jadi melebihi pasokan kalau ada keterlambatan pasokan likuid udah otomatis berdampak. Kalau kemarin ada keterlambatan tapi karena ada cadangan di filling station masih bisa disuplai," katanya.

Elly mengatakan, kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Kota Bandung, akan tetapi di seluruh Pulau Jawa dan Bali. Ia pun sudah meminta ke stasiun pengisian oksigen di Cibitung, Bekasi, untuk memperhatikan ketersediaan oksigen di Kota Bandung.

"Saya minta diperhatikan karena Bandung ibu kota provinsi, rumah sakit dan pasien banyak dan pasien dari luar kota Bandung ada. Kemarin saya minta ke pabrik oksigen pusat diperhatikan di Bandung," katanya.

Ia melanjutkan, saat ini pasokan oksigen dari stasiun pengisian oksigen di beberapa tempat 90 persen diperuntukan untuk keperluan medis dan 10 persen untuk kepentingan industri termasuk di Kota Bandung sudah mencapai 95 persen. Dari tiga stasiun pengisian oksigen di Kota Bandung, total rata-rata bisa mengisi hingga 2.400 tabung oksigen berukurang 6 meter kubik.

"Dari tiga (stasiun) bisa mengisi 2.400 tabung, isi gas 6 meter kubik," katanya. Elly menambahkan, pihaknya memastikan di Kota Bandung tidak terdapat penimbunan oksigen sebab akan terancam sanksi pidana bagi yang melakukannya.

Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung dr Ahyani Raksanagara mengatakan, hingga Jumat (4/7) sore kemarin, kebutuhan oksigen di 29 rumah sakit di Kota Bandung mencapai 35.745,05 meter kubik per hari, sedangkan stok yang ada hanya 16.222,55 meter kubik dengan estimasi habis 0,45 hari.

Kekurangan di Bandung dirasakan pula di Yogyakarta. Asisten Sekretaris Daerah DIY Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Tri Saktiyana, mengatakan, produksi oksigen untuk kebutuhan medis sudah tidak mencukupi lonjakan kebutuhan oksigen, khususnya di DIY.

Produsen pun diminta mengalihkan produksi oksigen yang tadinya untuk industri menjadi kebutuhan medis. Tri menuturkan, pengalihan ini tidak mudah dilakukan dan membutuhkan waktu. Hal ini juga masih dalam koordinasi oleh pemerintah pusat dengan pihak-pihak terkait.

"Dari rapat koordinasi kemarin sore (dengan pemerintah pusat), produksi oksigen untuk kesehatan sudah tidak mencukupi untuk kebutuhan lonjakan oksigen, sehingga perlu switch (pengalihan) dari yang tadinya bukan untuk medis dialihkan untuk medis," kata Tri kepada wartawan dalam jumpa pers yang digelar secara daring, Senin (5/7).

Tri menyebutkan, di DIY sendiri tidak ada produsen oksigen. Pasokan oksigen untuk DIY sebagian besarnya juga didatangkan dari Jawa Tengah.

Namun, dengan kebutuhan oksigen yang melonjak akibat kenaikan kasus Covid-19 yang signifikan dalam beberapa pekan terakhir, pasokan oksigen juga harus didatangkan dari provinsi lain. Seperti dari Jawa Barat dan Jawa Timur agar ketersediaan oksigen tetap terjaga di rumah sakit, terutama rumah sakit rujukan penanganan Covid-19 yang ada di DIY.

"Pak Luhut (Menko Bidang Maritim dan Investasi) menyampaikan, di luar Jawa juga masih ada sedikit oksigen medis untuk dikirim ke Jawa. Tapi distribusinya membutuhkan waktu, tapi ini upaya-upaya kita mengatasi kondisi darurat dan ini perlu gotong royong," ujarnya.

Menurut dia, kebutuhan oksigen khusus untuk DIY di masa normal mencapai 20 hingga 25 ton per hari. Namun, pada masa lonjakan kasus Covid-19 saat ini, kebutuhan oksigen pun meningkat mencapai dua hingga tiga kali lipat.

"Setidaknya kita per hari (kebutuhannya mencapai) 55 ton oksigen. Dan ini tentu harus ada kerja sama karena kita tidak punya pabrik, baik itu dengan Jateng maupun Jatim," jelas Tri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement