REPUBLIKA.CO.ID, oleh Puti Almas, Rr Laeny Sulistyawati, Nawir Arsyad Akbar, Antara
Lonjakan Covid-19 di Tanah Air diprediksi akan terus terjadi. Bahkan, epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan Indonesia memiliki potensi untuk memasuki fase puncak gelombang kembar atau satu kombinasi gabungan puncak yang besar dari kasus infeksi virus corona jenis baru. Ia mengatakan bahwa kemungkinan ini terjadi adalah pada akhir Juli hingga pertengahan Agustus mendatang.
“Akhir Juni justru awal puncak gelombang pertama dari varian Alpha. Nah tapi ternyata sekarang zudah dikuasai varian Delta, yang lebih besar lagi, jadi belum puncak di Indonesia,” ujar Dicky, kepada Republika pada Rabu (30/6).
Dicky mengatakan bahwa penyebab jumlah kasus Covid-19 di Indonesia yang tinggi, bahkan sebelum mencapai puncaknya adalah perjalanan setahun pandemi yang dilalui di Nusantara. Banyak faktor yang menurutnya telah mempengaruhi dan terjadi dalam periode tersebut, sebagai contoh adanya pemilihan umum, musim liburan, dan berbagai kegiatan yang membuat masyarakat bermobilisasi lainnya.
“Panjang dan banyak sekali faktornya. Tidak hanya masalah libur Lebaran atau musim liburan sejenisnya,” jelas Dicky.
Di Indonesia, sejauh ini Kementerian Kesehatan mencatat bahwa terdapat ratusan kasus Covid-19 yang ditemukan berasal dari tiga varian, yaitu Alpha, Beta, dan Delta. Alpha atau B.1.1.7 pertama kali ditemukan di Inggris, sementara Beta atau B.1.351 di Afrika Selatan, dan Delta atau B.1.617.2i pertama kali terdeteksi di India.
Varian Delta enam kali lebih cepat menular dibandingkan Alpha. Dalam sebuah penelitian di Australia, disebutkan bahwa varian ini bisa lebih cepat menular 10 hingga 15 detik saat individu berpapasan dengan orang lain tanpa memakai masker.
Bahkan, fakta lebih buruk adalah varian Delta mampu menghindari respons imun tubuh. Vaksin Covid-19 yang tersedia sejauh ini dinilai belum efektif melawan virus, sehingga diprediksi bahwa Delta akan menjadi varian virus paling dominan di dunia.
Varian Delta bisa memicu sakit parah dalam waktu tiga atau empat hari setelah terinfeksi. Gejala yang ditimbulkan dari varian ini antara lain adalah sakit kepala, sakit tenggorokan, pilek, batuk, sesak napas, sakit lepala, kelelahan, serta kehilangan indera perasa atau penciuman.
Serius melakukan pembatasan mobilitas dinilai menjadi kunci penurunan laju Covid-19. Pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Laura Navika Yamani, khawatir kalau pemerintah tidak serius membatasi mobilisasi maka kasus akan terus naik.
"Mobilitas harus dibatasi dan pembatasan ini bukan hanya sekadar imbauan. Sebab, selama ini belum ada pembatasan mobilitas secara tegas," kata Laura, Rabu (30/6).
Ia menyontohkan, pemerintah pernah menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saat awal-awal pandemi tahun lalu. Saat itu, dia melanjutkan, pemerintah benar-benar tegas bahwa tidak boleh ada mobilitas.
Akhirnya, dia menambahkan, PSBB bisa menurunkan kasus. Efek lainnya, dia melanjutkan, semakin berkurang orang yang terpapar dan membutuhkan penanganan.
"Tetapi sekarang hanya imbauan. Padahal, fasilitas kesehatan sudah overload," ujarnya.
Memang, dia melanjutkan, tempat pelayanan kesehatan masih berupaya melakukan perluasan konversi dan menambah tempat tidur. Namun, ia mempertanyakan harus berapa banyak tempat tidur yang dipersiapkan kalau di hulunya yaitu masyarakat tidak dibatasi mobilitasnya. Otomatis, dia melanjutkan, hilirnya akan kewalahan menerima pasien dari hulu.
"Mungkin ruangan bisa disiapkan, tetapi bagaimana dengan tenaga kesehatan (nakes), alat-alat kesehatan seperti ICU, apakah bisa? Tidak semudah itu," ujarnya.
Tak heran, dia melanjutkan, para tenaga kesehatan sudah mengeluhkan masalah ini. Sebab, ia menilai fasilitas kesehatan (faskes) yang menangani Covid-19 sekarang sudah hampir kolaps. Jika kondisi ini terus terjadi dan pasien tidak mendapatkan penanganan di rumah sakit (RS) dengan cepat maka otomatis kondisinya akan semakin drop.
Bahkan Laura juga mengaku mendapatkan informasi bahwa kini sudah ada pasien Covid-19 meninggal dunia di rumah karena tidak mendapatkan pertolongan dan meninggal dunia sebelum ditangani. Padahal, dia melanjutkan, awalnya kondisinya masih bisa ditolong. Namun karena rumah sakit yang penuh membuat orang yang terinfeksi tidak ditangani dan meninggal dunia di rumah.
Artinya, dia menambahkan, yang dirugikan adalah masyarakat karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan secara maksimal. Sehingga, kondisi ini bisa berujung pada kematian.
"Selain itu, tenaga kesehatan sebagai garda terdepan ketika menghadapi banyaknya pasien yang masuk kemudian siapa yang menjamin mereka (tak tertular virus)," katanya.
Jadi, Laura meminta pemerintah harus benar-benar harus serius dalam menangani pandemi. Menurutnya, pemerintah seharusnya bisa mengimbangi antara penanganan kesehatan di faskes dan vaksin. "Sebab, kesehatan lebih penting dibandingkan ekonomi," ujarnya.