REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut agar mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dijatuhi hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan. Tak hanya pidana badan, Edhy juga dituntut untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 9.687.447.219 dan 77 ribu dollar AS dikurangi seluruhnya dengan uang yang sudah dikembalikan.
Edhy dinilai terbukti menerima suap Rp 25,7 miliar terkait izin ekspor benih bening lobster atau benur. Jaksa meyakini, suap diberikan guna mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT DPPP dan para eksportir benur lainnya.
"Menyatakan terdakwa Edhy Prabowo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP," kata jaksa Ronald F Worotikan saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (29/6).
Edhy juga dituntut pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak Edhy selesai menjalani masa pidana pokok. Adapun, dalam menjatuhkan hukumannya, jaksa mempertimbangkan sejumlah hal.
Untuk hal yang memberatkan, Edhy Prabowo dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan KKN. "Terdakwa selaku penyelenggara negara yaitu menteri tidak memberikan teladan yang baik," ungkap jaksa.
Sementara itu untuk hal meringankan, Edhy dinilai, bersikap sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum, dan sebagian aset sudah disita.
Diketahui, Edhy didakwa menerima suap mencapai Rp 25,7 milar. Dalam dakwaan disebutkan Edhy menerima 77 ribu dolar AS dari pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito.
Edhy menerima uang tersebut melalui Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadinya, dan Safri yang merupakan staf khusus menteri dan Wakil Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster.
Sementara, penerimaan uang sebesar Rp 24,6 miliar diterima Edhy dari para eksportir benur lainnya. Namun, jaksa tak menyebut siapa saja eksportir tersebut.
Dalam dakwaan, disebut uang itu diterima Edhy melalui sejumlah pihak. Yakni, Amiril Mukminin, Ainul Faqih selaku staf pribadi Iis Rosita Dewi (anggota DPR sekaligus istri Edhy Prabowo), Andreau Misanta Pribadi selaku staf khusus menteri dan Ketua Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster, dan Siswandhi Pranotoe Loe selaku komisaris PT Perishable Logistic Indonesia (PT PLI) dan pemilik PT Aero Citra Kargo (PT ACK).
Jaksa menyebut, pemberian suap dilakukan agar Edhy mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT DPPP dan para eksportir BBL lainnya yang bertentangan dengan kewajiban Edhy sebagai menteri.