Senin 28 Jun 2021 21:42 WIB

BEM UI Dipanggil Rektorat, Diretas: Sinyal Bahaya Demokrasi

Usai unggahan kritik terhadap Jokowi, BEM UI dipanggil rektorat, akun medsos diretas.

Gedung Rektorat Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat. (ilustrasi)
Foto: Humas UI
Gedung Rektorat Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Ronggo Astungkoro, Haura Hafizhah, Sapto Andika Candra, Zainur Mashir Ramadhan, Febrianto Adi Saputro

Kritik Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disampaikan melalui akun Twitter dan Instagram belakangan viral. Kritik itu disampaikan melalui utas meme janji-janji Jokowi yang dinilai sekadar janji manis atau lip service.

Baca Juga

"JOKOWI: THE KING OF LIP SERVICE. Halo, UI dan Indonesia! Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali juga tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu," kata BEM UI lewat unggahannya, Sabtu (26/6).

Sehari setelah unggahan itu, 10 orang dari BEM UI dipanggil oleh pihak rektorat. Melalui surat resmi yang juga beredar viral, Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra dkk dipanggil pihak rektorat untuk diminta keterangannya terkait unggahan kritik yang menyertakan foto Presiden Jokowi. Tidak hanya itu, Leon pada hari ini juga mengabarkan bahwa akun para anggota BEM UI mengalami peretasan.

 

 

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengkritisi pemanggilan perwakilan BEM UI oleh Rektorat UI menyusul unggahan kritik terhadap Jokowi. Erasmus menilai pemanggilan ini sebagai sinyal berbahaya dalam iklim demokrasi.

"Suara kritis mahasiswa dibungkam. Pemanggilan itu kan intensinya represi, ini pengekangan, bahaya dalam demokrasi," kata Erasmus kepada Republika, Senin (28/6).

Erasmus mempertanyakan urgensi dan waktu pemanggilan BEM UI oleh Rektorat UI yang dilaksanakan pada hari libur. Menurutnya, pihak Rektorat UI yang semestinya disanksi pemerintah karena memaksakan pertemuan tatap muka di masa pandemi Covid-19.

"Meminta penjelasan di hari Minggu, tatap muka, di saat Covid begini, UI justru tidak sesuai dengan protokol kesehatan yang didorong Pak Jokowi, Rektorat UI yang harusnya ditegur oleh presiden atau pemerintah," tegas Eramsus.

Selain itu, Erasmus mencermati tak ada aturan yang dilanggar BEM UI terkait unggahan tersebut. Sehingga, ia merasa heran terhadap pemanggilan BEM UI.

"Kalau pun itu urusan hukum, kan enggak ada pidananya? Apa urusan hukumnya? Emang Pak Jokowi tersinggung? Ya silakan Rektorat UI tanya presiden lah," ujar Erasmus.

Erasmus menekankan, kritik terhadap pemimpin adalah hak warga negara yang menjunjung demokrasi. Apalagi menurutnya, kritik itu bukan bersifat merendahkan martabat seseorang karena disertai argumentasi.

"Apa pun aturan internal UI, ini hak warga negara, Hak BEM UI dan mahasiswa. Kritik itu dijamin konstitusi, dan mereka kritiknya berdasar, soal foto dan lain-lain itu kan satire, niatnya bukan merendahkan martabat, tapi kritik, apa masalahnya? Enggak ada," ucap Eramsus.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pun ikut mengecam keras segala bentuk tindakan pembungkaman berekspresi dan berpendapat, khususnya di ruang-ruang akademis seperti di kampus. Kecaman Kontras ini merespons pemanggilan perwakilan BEM UI oleh pihak rektorat.

"Kami melihat bahwa upaya pemanggilan semacam ini merupakan indikasi pemberangusan kebebasan akademis dalam kampus," ungkap Koordinator Kontras, Fathia Maulidiyanti, lewat keterangan tertulis yang Republika terima, Senin (28/6).

Fathia melihat, hal ini juga menegaskan kampus tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa untuk menyuarakan pendapat. Universitas, kata dia, seharusnya dapat melindungi kebebasan akademis, bukan justru mengatur ekspresi mahasiswanya.

Kontras menilai, apa yang dilakukan oleh Rektorat UI lewat Direktur Kemahasiswaan telah melanggar prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan. Hal tersebut, kata Fathia, diatur dalam Pasal 4 dan 24 UU Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan, "Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa."

"Sementara itu, pendidikan tinggi juga wajib menjujung kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU Sistem Pendidikan Nasional," kata dia.

Kontras menilai, tindakan yang dilakukan oleh BEM UI lewat unggahannya merupakan bentuk kemerdekaan penyampaian pendapat yang sah. Hal itu sebagaimana diatur dalam instrument hukum HAM nasional maupun Internasional.

Walaupun kasus ini belum menyentuh ranah pidana, Kontras menilai potensi kasus-kasus serupa sangat besar berlanjut ke tahap pemolisian. Sebab, masih ada UU ITE yang didalamnya terdapat delik pencemaran nama baik dan setiap waktu bisa menjerat mereka yang kritis di ruang digital.

"Kasus pembungkaman kebebasan akademis UI merupakan rentetan panjang praktik-praktik pembungkaman ekspresi mahasiswa dalam kampus. Mahasiswa yang kritis kerapkali terbelenggu oleh sikap mental rektorat yang anti kritik," kata Fathia.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matriaji menilai, pemanggilan BEM UI oleh pihak rektorat tergolong mencoreng dunia pendidikan.  Ubaid menyayangkan institusi pendidikan yang justru tak menghargai kebebasan berekspresi.

"Wah ini sangat mencoreng institusi pendidikan kita. Katanya kampus merdeka, tapi lagi-lagi kita disuguhkan deretan kemunafikan," kata Ubaid kepada Republika, Senin (28/6).

Ubaid menuding konsep Kampus Merdeka yang digagas Mendikbudristek Nadiem Makarim hanya slogan belaka. Sebab pada kenyataannya malah ada kampus yang mengekang ekspresi mahasiswa.

"Kampus merdeka hanya jadi slogan, nyatanya mulut dibungkam dan kebebasan diborgol. Ini menjadi indikator buruknya pengelolaan pendidikan kita," ujar Ubaid.

Ubaid mengingatkan supaya kampus tak kembali menjadi alat penguasa seperti di era Orde Baru. Ia menyarankan supaya kritik dibalas dengan argumentasi bukan surat pemanggilan terhadap mahasiswa.

"Tindakan represif itu membuat kita mundur lagi ke sejarah orde baru dimana kritisisme kampus dibungkam. Harusnya pengkritik itu diberikan panggung untuk berdebat sebagi ruang ilmiah adu argumentasi dan uji dalil," ucap Ubaid.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement