REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi geografis Indonesia yang terletak di jalur Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) menyebabkan hampir seluruh wilayah rentan terpapar risiko bencana. Pemerintah sendiri telah menyiapkan dana cadangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai bentuk kesiapan pendanaan.
Direktur Humanitarian & Emergency Affairs, Wahana Visi Indonesia, Margaretha Siregar mengatakan pembiayaan risiko bencana, di Indonesia penting karena melihat data terdapat lebih 1.400 kali kejadian bencana di Indonesia di tahun 2021.
"Kita sudah melihat ada sekian banyak pengungsi atau orang yang harus dievakausi akibat bencana tersebut. Belum lagi kita melihat betapa banyak kerugian baik material maupun imaterial yang terjadi akibat bencana ini," kata Margaretha dalam Webinar bertema "Mitigasi Pembiayaan Risiko Bencana Alam", Kamis (17/6).
Ia menambahkan, tingginya risiko bencana tersebut membutuhkan inovasi pembiayaan risiko bencana. Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah merumuskan apa saja yang perlu dilakukan atau direkomendasikan terkait bencana dan rehabilitasinya. Namun, hal itu harus ditindaklanjuti hingga level masyarakat sebagai pihak penerima manfaat dari pembiayaan risiko bencana.
"Pemerintah sudah melakukan yang baik. Seperti menggelontorkan perlindungan sosial di Indonesia Rp408,8 triliun tahun 2021, program keluarga harapan (PKH), bantuan pangan non tunai (BPNT)/program sembako dan bantuan sosial (BTS) dan program Kemensos berupa perlindungan sosial terdampak bencana, seperti rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni, bantuan sosial tunai," ujarnya.
Ia menambahkan, yang perlu diperhatikan adalah perlindungan sosial adaptif masyarakat untuk antisipasi dan mitigasi bencana. Hal lainnya adalah terkait masalah administratif dalam menjangkau kelompok khusus antara lain penyandang disabilitas maupun penduduk lansia yang rentan miskin.
Peneliti di Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan menyatakan mitigasi pembiayaan risiko bencana di Indonesia perlu dukungan dari berbagai pihak.
"Tidak hanya pemerintah tapi masyarakat dan sektor swsata. Karena pada kenyataannya, sebenarnya apa yang telah dilakukan pemerintah selama ini sudah cukup baik. Hanya permasalahannya adalah kapasitas pemerintah untuk menanggulangi seluruh bencana itu terbatas," kata dia.
Menurut Deni, selama ini ada GAP sekitar 78 persen pembiayaan mitigasi risiko bencana yang bisa ditanggulangi oleh APBN.
Ia menambahkan, masalah lain yang dialami dalam mitigasi pembiayaan risiko bencana alam adalah administrasi dan birokrasi pemerintahan yang panjang. Untuk itu diperlukan peran serta masyarakat dengan skema public private partnership (PPP).
"Sektor swasta dengan keahlian yang dapat dimanfaatkan dan lebih efisien. Nah di sini kita mencari keseimbangan mana peran pemerintah yang baik, itu yang dipegang pemerintah, mana peran swasta yang baik itu bisa kontribusi swasta," paparnya.
Deni menjelaskan mengenai model pembiayaan risiko bencana yang dapat dipergunakan seperti non pasar, voluntary, swadaya masyarakat, sumbangan, dan lainnya. Untuk skema yang menggunakan pasar dapat dilakukan dengan asuransi, bon atau dari pemerintah.
"Kita perlu membangun sebuah sistem penanggulangan bencana yang lebih integratif," jelasnya.
Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara DJPPR, Kementerian Keuangan, Heri Setiawan mengamini pernyataan Deni. Ia mengatakan, pembiayaan risiko bencana alam tidak bisa hanya dilakukan pemerintah meski pemerintah dalam APBN sudah menyiapkan anggaran seperti untuk mitigasi dan tanggap darurat.
"Tapi memang apabila bencananya besar, anggaran tidak cukup. Untuk tanggap darurat dan Indonesia ini luas. Jenis bencananya banyak sekali dan kalau itu berbarengan dan besar-besar, dana APBN tidak cukup," kata Heri.
Heri menambahkan, pemerintah telah melaunching strategi dan kebijakan pembiayaan dan asuransi risiko bencana pada rangkaian acara annual meeting IMF WB pada 2018 di Bali. Strategi itu meliputi implementasi bauran instrumen DRFI, pemerintah menyerap risiko bencana untuk porsi tertentu, eksplorasi kemungkinan pinjaman siaga (conttingent loans), pendirian pooling fund berencana, dan implementasi skema risk transfer asuransi
"Untuk skala kebutuhan yang besar, tidak mungkin pemerintah saja. Ada keterlibatan masyarakat, misal untuk properti dan kesehatan yang harus menyiapkan juga mitigasi," ujarnya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia, Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe mengakui hingga saat ini masyarakat Indonesia belum mengapreasi asuransi.
"Masyarakat Indonesia masih belum punya kemampuan untuk beli produk asuransi. Asuransi nomor sekian setelah kebutuhan primer," kata dia.