Selasa 15 Jun 2021 22:59 WIB

Ini Pandangan Komnas HAM RI atas Revisi Terbatas UU ITE

Komnas HAM mempertanyakan dasar pemerinta yang hanya akan revisi terbatas UU ITE.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Sandrayati Moniaga
Foto:

Ia melanjutkan, untuk itu revisi terbatas pada 4 (empat) pasal dalam UU ITE bukanlah solusi atas ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Penambahan pasal baru yaitu Pasal 45C yang mengadopsi ketentuan peraturan perundangan-undangan tahun 1946 juga sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian sehingga menjadi ancaman bagi demokrasi dan hak asasi manusia di ruang digital.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Komnas HAM pada 2020 terhadap 1.200 responden di 34 provinsi, sebanyak 36,2 persen masyarakat merasa tidak bebas dalam menyampaikan ekspresinya di media sosial (internet).  Sandra menekankan betapa pentingnya jaminan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam pelaksanaan negara demokratis. Sikap tersebut adalah  bentuk pengawasan, kritik, dan saran dalam penyelenggaraan pemerintahan.

"Pada negara demokratis, kedaulatan negara berada di tangan rakyat sehingga kehendak rakyat yang disampaikan melalui pendapat dan ekspresinya harus menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan, " tegas Sandra. 

Karena, kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin diantaranya dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi juga dijamin oleh berbagai instrumen HAM internasional seperti Deklarasi Universal HAM dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi dalam UU No. 12 Tahun 2005.

Komnas HAM RI sendiri telah menyusun dan menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi.  Oleh karenanya, Komnas HAM RI mendorong dan merekomendasikan Pemerintah dan DPR RI agar memakai SNP tersebut sebagai pedoman dan penjelasan dalam merevisi UU ITE. 

"Di dalam SNP dimaksud, Komnas HAM RI menegaskan bahwa dalam melakukan pembatasan atas kebebasan berekspresi dalam revisi UU ITE, agar dilakukan secara akuntabel, nondiskriminatif, tidak multi tafsir, dan bisa diuji oleh publik," ujar Sandra. 

Adapun tolak ukur dalam menguji revisi UU ITE adalah legalitas, proporsionalitas, dan nesesitas. Artinya, revisi atas UU ITE harus mampu menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang lebih kondusif.

Oleh karena itu, Komnas HAM RI merekomendasikan agar Pemerintah dan DPR RI untuk mengkaji ulang usulan revisi terbatas UU ITE, karena revisi terhadap 4  pasal tersebut bukan solusi atas ancaman dan problem kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia.

"Pemerintah dan DPR RI harus mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai dasar pengambilan kebijakan maupun pembentukan peraturan perundang-undangan dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia," tegas Sandra. 

 

"Keterlibatan Lembaga Negara Independen serta koalisi masyarakat sipil dan akademisi diperlukan guna memastikan proses revisi UU ITE berjalan partisipatif, terbuka, dan non-diskriminatif, " tambahnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement