Jumat 11 Jun 2021 21:37 WIB

Sekjen PBNU: Pungut Pajak Pendidikan tak Tepat

Pajak pendidikan tersebut bertentangan dengan spirit UUD 1945.

Rep: Muhyiddin/ Red: Andi Nur Aminah
Sekretaris Jenderal PBNU, Helmy Faishal Zaini
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Sekretaris Jenderal PBNU, Helmy Faishal Zaini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Helmy Faishal Zaini menanggapi rencana pemerintah yang akan memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada jasa pendidikan sebagaimana tertuang dalam draf Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Menurut dia, pajak pendidikan tersebut bertentangan dengan spirit UUD 1945. 

"Dalam pandangan kami, inisiatif pemerintah dalam hal upaya meningkatkan pajak namun melalui cara peningkatan PPN pendidikan dan sembako adalah tindakan yang tidak tepat, dan sebaiknya usulan ini dapat dicarikan formula lain yang lebih memungkinkan dan bijaksana," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Jum'at (11/6). 

Baca Juga

"Maka, janganlah kebijakan pemerintah nantinya justru akan menjauhkan dari spirit dan cita-cita luhur sebagaimana tertuang dalam UUD 1945," imbuhnya. 

Helmy mengatakan, pada prinsipnya sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, salah satu cita-cita luhur bangsa Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka, menurut dia, negara sebagaimana spirit dalam UUD 1945 harus melakukan ikhtiar-ikhtiar nyata melalui kebijakan yang berpihak kepada rakyat.

"Sebagai salah satu amanat luhur, Sudah semestinya pendidikan harus diselenggrakan dengan watak insklusif. Siapapun memiliki hak untuk dapat mengakses pendidikan. Maka, harapan bagi terwujudnya education for all adalah suatu keniscayaan," ucapnya. 

Dia pun mengingatkan memerintah untuk lebih hati-hati dalam merumuskan kebijakan. Karena, menurut dia, rencana diberlakukannya Pajak Penambahan Nilai (PPN) termasuk dalam ketegori yang memiliki dampak langsung pada masyarakat luas. 

"Sebagai dasar pengambilan keputusan pemerintah harus berpijak pada filosofi bahwa setiap kebijakannya berbasis pada kemaslahatan rakyat. Dalam kaidah fikih disebutkan tashorruful Imam ala raiyyah manthun bil maslahah, kebijakan seorang leader harus didasarkan pada kemaslahatan bagi rakyat," kata Helmy.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement