REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasal yang mengatur tentang ujaran kebencian dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) termasuk ke dalam pasal yang akan direvisi terbatas oleh pemerintah. Dalam usulan revisi yang disusun oleh Tim Kajian UU ITE, ada penambahan norma yang akan lebih menegaskan maksud dari aturan tersebut.
"Kita mengusulkan di dalam revisi dipertegas dengan norma bukan hanya menyebarkan masalah SARA, tetapi menghasut, mengajak, atau memengaruhi," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (11/6).
Dengan demikian, orang yang dapat dikenakan pasal tersebut merupakan orang yang menyebarkan informasi dengan maksud menghasut, mengajak, atau memengaruhi individu atau kelompok soal SARA. Orang yang menyebarkan informasi tanpa ada niat-niat itu, maka tak dapat dikenakan pasal tersebut, yakni pasal 28 ayat 2.
"Kalau cuma menyebarkan tanpa niat ini, tidak bisa. Kita usulkan begitu. Yang itu ditujukan semua untuk menunjukkan rasa benci atau permusuhan terhadap individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA tadi," kata dia.
Sebelumnya, pemerintah sepakat untuk melakukan revisi terbatas terhadap UU ITE. Presiden Joko Widodo disebut telah setuju untuk melanjutkan upaya revisi terbatas itu ke tahap legislasi selanjutnya.
"Kami baru laporan kepada Presiden dan sudah disetujui untuk dilanjutkan," ungkap Mahfud dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (8/6).
Dia menjelaskan, presiden setuju revisi yang akan dilakukan terhadap UU ITE merupakan revisi terbatas yang menyangkut substansi beberapa pasal di dalamnya. Pasal-pasal itu, antara lain pasal 27, pasal 28, pasal 29, dan pasal 36. Selain itu, ada satu pasal yang akan ditambahkan ke dalam UU ITE, yakni pasal 45C.
"Itu semua untuk menghilangkan multitafsir, menghilangkan pasal karet, dan menghilangkan kriminalisasi yang kata masyarakat itu banyak terjadi. Kata masyarakat sipil itu banyak terjadi diskriminasi dan lain-lain. Kita perbaiki," kata dia.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan, perbaikan itu akan dilakukan tanpa perlu mencabut UU ITE. Sebab, kata dia, UU tersebut masih sangat diperlukan untuk mengatur arus lalu lintas komunikasi semua elemen bangsa di dunia digital.
Langkah tersebut ditempuh usai Tim Kajian UU ITE melakukan kajian yang diikuti 55 orang secara intensif. Berbagai pihak, dia sebut, terlibat dalan kajian itu, mulai dari perwakilan kementerian lembaga terkait, pelapor kasus UU ITE, hingga korban dari UU ITE itu sendiri.