REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR Himmatul Aliyah menolak rencana pemerintah yang mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada barang dan jasa, salah satunya adalah pendidikan. Menurutnya, hal tersebut tidaklah etis dan bertentangan dengan konstitusi.
"Ini tentu tidak etis sekaligus bertentangan dengan konstitusi. Jadi jika rencana tersebut diberlakukan dan UU disahkan akan rawan digugat di Mahkamah Konstitusi," ujat Himmatul lewat keterangan tertulisnya, Jumat (11/6).
Pengenaan pajak pada sektor pendidikan membuat biaya pendidikan meningkat dan membebani masyarakat, terutama orang tua siswa. Imbasnya akan menciptakan ketidakadilan, karena pendidikan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat.
Hal tersebut bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional. Tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
"Disebutkan dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan dan pendidikan diselenggarakan secara demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif," ujar Himmatul.
Di samping itu, pengenaan pajak pada sektor pendidikan di tengah pandemi Covid-19 akan menambah tinggi angka putus sekolah. Tentu hal ini bertentangan dengan program pemerintah yang ingin meningkatkan sumber daya manusia (SDM) masyarakat.
"Pengenaan pajak pendidikan bisa menambah tinggi angka putus sekolah, sehingga menurunkan angka partisipasi sekolah di Indonesia. Kondisi demikian tentu paradoks dengan visi pemerintah sendiri, yakni mewujudkan SDM unggul untuk Indonesia maju," ujar Himmatul.
Berdasarkan rancangan RUU KUP, pemerintah menghapuskan jasa pendidikan dari kategori jasa bebas PPN. “Jenis jasa yang tidak dikenai PPN yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut, jasa pendidikan dihapus untuk pendidikan sekolah seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi; dan pendidikan luar sekolah seperti kursus,” tulis rancangan RUU KUP seperti dikutip Kamis (10/6).
Secara total, pemerintah mengeluarkan 11 jenis jasa dari kategori bebas PPN. Dengan demikian, hanya tersisa enam jenis jasa kategori bebas PPN dari sebelumnya 17 jenis jasa.