Kamis 10 Jun 2021 12:39 WIB

Faktor Pemicu Rendahnya Kualitas Pendidikan Tinggi Indonesia

Di tingkat perguruan tinggi sistem pendidikan kita terjebak pada budaya birokratisasi

Mahasiswi di perpustakaan.  (ilustrasi)
Foto:

Oleh : Syukron Jazila, Pendiri dan Direktur Eksekutif Wahib Institute

Jika mau diringkas, dua variabel di atas dapat diterjemah ke dalam satu persoalan panjang; prinsip pendidikan, sistem dan metodenya. Kita perlu merombak hampir seluruh komponen pendukung kualitas pendidikan. Kualitas dosen atau guru (berarti juga kualitas pengajaran di dalamnya), kurikulum (buku-buku/diktat), sistem dan metode.

Pada tingkat dosen misalnya, masih banyak mereka yang mempraktikkan budaya feodal, kecenderungan memaksakan kehendak; menjadikan mahasiswa sebagai objek; kampus seperti pabrik; ada tendensi mahasiswa diseragamkan—tanpa terkecuali, pun di sekolah-sekolah.

Alih-alih membantu mahasiswa berkembang secara kreatif dan mandiri, pada tahap paling ekstrim dosen-dosen model ini memupuk perasaan tersaingi, sehingga mahasiswa tidak mendapat motivasi yang terbuka untuk berkembang. Jika tidak demikian, itu diakibatkan oleh inkompetensi dosen sendiri yang tidak mampu mengimbangi jalan pikiran mahasiswa yang berbeda-beda.

Pada situasi itu, dosen tidak lebih menjadi penceramah —yang tidak memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk menyatakan pendapat secara terbuka. Kemudian lahirlah mahasiswa yang takut berpendapat karena khawatir salah, apalagi, sejak sekolah dasar kita memang dituntut untuk selalu sama dengan guru.

 
Guru adalah (hampir) dewa. Menganggap salah guru adalah sebentuk tindakan amoral. Padahal kritisisme tidak ada kaitannya dengan moralitas.

Budaya ini sangatlah berbeda dengan yang dikembangkan di Eropa—untuk bicara kualitas (tanpa tendensi memujanya). Di Prancis, sejak abad 19 awal filsafat menjadi pelajaran wajib di sekolah-sekolah menengah atas.

Antusiasme dan nilai yang dipelajari dalam filsafat selanjutnya membentuk nalar kritis dan budaya kompetitif. Berkebalikan dengan metode pendidikan kita yang cenderung dogmatis.

Anak-anak Prancis membaca Popper, Descartes, dan Arendt untuk ujian akhir sekolah sebelum masuk perguruan tinggi. Sementara model pendidikan kita masih satu arah, tidak dialogis, menumpulkan nalar kritis. Buku-buku diktat yang kering dan minim referensi sejak sekolah dasar tidak membantu memupuk rasa ingin tahu.

Sebaliknya, membuat anak didik bosan belajar di kelas —dan kegiatan belajar menjadi momok. Ini yang terjadi terhadap anak-anak didik sekolah dasar-menengah dan dibawa pula ke kampus-kampus; ke perguruan tinggi.

Model pendidikan dogmatis, melahirkan dosen (guru) yang dogmatis pula. Kita mesti membongkarnya dari awal; dengan filsafat. Baru setelahnya, pembicaraan soal kualitas pendidikan menjadi mungkin. Sebab pendidikan, lagi-lagi menyangkut the way of thinking. Absennya pembahasaan soal ini, berarti absennya kualitas pendidikan tinggi kita.

Ke depan, perlu pembahasan yang holistik tentang seluruh aspek pendidikan di tingkat kementerian dan departemen-departemen di daerah. Sebagaimana mula-mula disampaikan di atas, prinsip atau idealisme dari pendidikan tinggi mesti dijelaskan secara terperinci dan komprehensif terlebih dahulu (sebelum kemudian berbicara soal artificial intelligence dll.).

Menghidupkan nalar kritis yang bukan lagi tergantung pada pertimbangan-pertimbangan politik praktis— di mana kita bisa lihat salah satu contohnya yakni kebijakan pemilihan rektor oleh kementerian atau presiden. Ini jelas menyalahi kaidah ilmiah dan integritas akademik.

Karena itu, berhenti dari sekarang melanjutkan cara berpikir lama. Jauhkan pendidikan dari pertimbangan politik praktis nir-intelektual. Tanpa itu semua, susah membayangkan membicarakan kualitas pendidikan tinggi dan berbagai masalah prinsipil di dalamnya secara terbuka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement