Rabu 09 Jun 2021 23:24 WIB

Fenomena BTS Meal, Ini Tanggapan Psikolog

Fenomena ini terjadi akibat seseorang mengidolakan orang lain dan dipengaruhi medsos

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Andi Nur Aminah
Seorang pengemudi ojek daring mengantre untuk mengambil pesanan di gerai McDonald’s Raden Saleh, Jakarta, Rabu (9/6/2021). Puluhan pengemudi  ojek daring tersebut terlihat mengabaikan protokol kesehatan saat mengantre untuk mengambil pesanan BTS Meal yang merupakan menu kolaborasi boy band asal Korea BTS dengan McDonald
Foto: ANTARA/GALIH PRADIPTA
Seorang pengemudi ojek daring mengantre untuk mengambil pesanan di gerai McDonald’s Raden Saleh, Jakarta, Rabu (9/6/2021). Puluhan pengemudi ojek daring tersebut terlihat mengabaikan protokol kesehatan saat mengantre untuk mengambil pesanan BTS Meal yang merupakan menu kolaborasi boy band asal Korea BTS dengan McDonald

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada Rabu (9/6) gerai makanan cepat saji Mcdonald’s meluncurkan BTS Meal. Akibatnya, gerai McD diserbu oleh para ojek online dan para penggemar grup K-Pop, BTS. Psikolog Binus Unversity, Muhamad Nanang Suprayogi, Ph.D menanggapi fenomena BTS Meal yang menyebabkan banyak kerumunan sehingga pihak berwenang harus turun tangan menutup beberapa gerai.

Nanang mengatakan, fenomena ini terjadi akibat seseorang tengah mengidolakan orang lain yang dipengaruhi oleh media sosial (medsos). Sebelum ada medsos, tokoh idola biasanya ditanamkan melalui pendidikan, bisa dari sekolah atau orang tua. Ini tentu berbeda situasinya sekarang ketika medsos memengaruhi banyak kalangan.

Baca Juga

“Kalau dalam istilahnya disebut konformitas, ikut-ikutan. Ingin sama dengan yang lain. Misalnya, dia dapat aku juga harus dapat. Jadi, ada pengakuan aku penggemarnya kalau aku bisa mendapatkan suatu barang,” kata Nanang kepada Republika.co.id, Rabu (9/6).

Jika dilihat dari psikologi perkembangan, rata-rata fans K-pop adalah remaja awal dan remaja akhir. Saat remaja, fase peer group sangat kuat dan saling memengaruhi. Ini yang selaras dengan konformitas. Ada perasaan ingin sama dan tidak ingin berbeda dengan yang lain.

"Pada masa remaja, peer groupnya kuat maka pengaruh teman sebaya dominan. Ketika satu anggota grup sangat memengaruhi maka yang lain akan terbawa,” ujar dia.

Selain remaja, fans K-Pop juga ada dari kalangan orang dewasa. Nanang menjelaskan, paparan-paparan medsos jika tidak dicermati dan dikendalikan maka secara tidak sadar akan sangat berpengaruh pada diri seseorang.

Orang tersebut ingin adanya eksistensi dan pengakuan. Harusnya saat orang sudah memasuki umur dewasa, mereka bisa mengambil keputusan bijak dan tidak mudah diarahkan karena sudah mempunyai pendirian.

Selain medsos, faktor lain seperti ekonomi juga bisa terjadi di kalangan orang dewasa. “Sekarang banyak orang yang ingin mendapat keuntungan dari jumlah likes, views. Mereka bukan ngefans, tapi ingin dapat views banyak. Itu juga bisa,” ucap dia.

Kecanduan ini kata Nanang akan berbahaya jika tidak bisa dikendalikan oleh diri sendiri. Misal, bisa merugikan orang lain. Lebih lanjut, Nanang menekankan mengidolakan seseorang tidak masalah jika bisa disikapi dengan tepat. “Yang berbahaya ini adalah teknologi medsos. Karena itu, idola harus disikapi dengan bijak. Contohnya bisa menjadi motivasi atau semangat belajar. Tapi kalau kita tidak mampu memilah mana yang baik dan buruk, justru kita malah dikendalikan yang akhirnya kita tidak mempunyai jati diri,” ucap dia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement