REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Febrianto Adi Saputro, Ronggo Astungkoro
Rencana pemenuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) sebesar Rp 1.760 triliun menuai polemik. Anggota Komisi I DPR, Fadli Zon, namun mengatakan banyak salah paham terkait Rancangan Peraturan Presiden tentang pemenuhan alpalhankam periode pengadaan 2020-2024.
"Umumnya telah disalahpahami oleh banyak orang. Tak sedikit yang menilai kalau rencana strategis itu sebagai 'ambisius' dan 'tidak peka' terhadap krisis yang tengah kita alami," kata dia, Senin (7/6).
Ia menyebut ada tiga sumber kesalahpahaman terkait rancangan Perpresitu. Pertama, sebagian pihak hanya melihat total besaran anggarannya yang mencapai Rp 1.760 triliun, tetapi tidak memperhatikan skemanya.
Kedua, masyarakat melupakan pengadaan peralatan perang itu merupakan proyek strategis untuk jangka waktu 25 tahun. Terakhir, mereka yang menentang pengadaan alat pertahanan katanya lupa, semua itu barulah rancangan rencana pemerintah.
"Di luar tiga hal tadi, banyak orang juga lupa, jika saat ini kita berada di tahap akhir program Kekuatan Pokok Minimum, atau MEF (Minimum Essential Force), yang telah dimulai sejak 2009 silam," kata wakil ketua umum DPP Partai Gerindra ini.
MEF, lanjut dia, merupakan program yang dirancang untuk memodernisasi kekuatan pertahanan Indonesia. MEF merupakan warisan masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu MEF I (2009-2014), MEF II (2014-2019), dan MEF III (2019-2024).
Menurut dia, dalam tiap tahap MEF pemerintah menganggarkan kurang lebih sebesar Rp 150 triliun untuk belanja peralatan perang. "Jadi, kurang lebih tiap tahun anggarannya adalah sebesar Rp 30 triliun. Nah, program ini akan berakhir pada 2024. Sehingga, sangat wajar jika pemerintah kemudian menyusun rancangan program strategis baru untuk meneruskan MEF. Itulah latar belakang munculnya rancangan Perpres tentang Alpahankam," kata dia.
Fadli menyebut, dalam pelaksanaan program MEF tidak berjalan mulus seperti yang direncanakan. Berdasarkan data Kementerian Pertahanan hingga Oktober 2020 (alias memasuki MEF III), TNI AD baru memiliki 77 persen kekuatan pokok minimal, sedangkan TNI AL sebesar 67,57 persen, dan TNI AU 45,19 persen.
"Jadi, kalkulasi kasarnya, dengan model penganggaran yang berlaku selama ini, MEF kemungkinan tidak akan bisa mencapai 100 persen pada 2024. Maka, dibutuhkan jalan baru dan juga rencana baru," katanya.
Rencana Kementerian Pertahanan dengan menyatukan alokasi anggaran pertahanan 25 tahun untuk memenuhi peralatan perang, kata dia, merupakan terobosan. Selain itu dapat menjadi jawaban untuk mempercepat modernisasi peralatan perang TNI.
Fadli menyebut terdapat tiga pertimbangan untuk mendukung rencana Kementerian Pertahanan. Pertama, terobosan ini akan menjawab percepatan modernisasi peralatan perang. "Kondisi alpahankam kita memang sudah tidak memadai, baik dari sisi jumlah, maupun segi usia. Sekitar 70 persen alpahankam kita umurnya sudah uzur," kata dia.
Ia menyatakan, tragedi tenggelamnya KRI Nanggala-402 merupakan salah satu faktor penyebabnya adalah karena usia yang sudah tua. "Selama ini anggaran TNI banyak tersedot untuk pemeliharaan alpahankam yang sudah tak layak pakai," ucapnya.
Kedua, dari sisi anggaran, melakukan modernisasi dengan menyatukan alokasi anggaran pertahanan 25 tahun dapat meningkatkan kapasitas pengadaan alpahankam secara lebih komprehensif. "Selain akan segera meningkatkan posisi tawar Indonesia, cara ini juga saya kira lebih efisien dibanding jika pengadaannya dilakukan secara terpisah dan parsial," katanya.
Bila diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) 2020 sebesar Rp 15.434,2 triliun, maka anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk alutsista selama 25 tahun itu sebenarnya hanya pada kisaran 0,6-0,7 persen setiap tahun. Padahal, apabila merujuk pada dokumen MEF, idealnya sejak MEF II (2014-2019), alokasi anggaran pertahanan Indonesia sudah ke arah 1,5 persen dari terhadap PDB.
"Jadi, jangan semata-mata melihat gelondongan Rp 1.760 triliun-nya, tapi harus dilihat juga persentasenya terhadap PDB kita 25 tahun ke depan," katanya.
Ketiga, rencana pengadaan alat pertahanan katanya bersifat meneruskan strategi MEF yang saat ini sudah masuk tahap ke-3. Sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, harus menghadapi tiga tantangan sekaligus terkait dengan MEF, yakni harus menuntaskan MEF, harus menghadapi kenyataan terkendalanya anggaran pertahanan karena ada pandemi, dan harus bisa menawarkan rancangan strategis baru untuk meneruskan MEF.
"Jadi, mau tidak mau Kementerian Pertahanan harus bisa membuat terobosan. Rancangan Perpres tentang alpahankam ini adalah hasilnya," ucap dia.
Dalam satu tahun ini, Fadli melihat upaya Kementerian Pertahanan untuk melakukan percepatan target MEF cukup serius dan komprehensif. Misalnya, mereka mengevaluasi kembali kontrak-kontrak kerja sama pertahanan yang dinilai tidak efisien, membuka kerja sama luas dengan berbagai negara agar tidak tergantung pada satu negara saja, dan terakhir, mereka juga tak lupa memperkuat industri pertahanan nasional.
Jadi, langkah-langkah yang disusun Kementerian Pertahanan, kata dia,sudah sangat komprehensif. Ia menambahkan, Indonesia memang harus membuat terobosan penting agar dapat segera memiliki sistem pertahanan nasional yang tangguh. "Di luar hal-hal yang telah disebutkan tadi, saya setuju, bahwa rencana besar ini tentu masih harus dimatangkan dan disempurnakan lagi dengan melibatkan parlemen," ujarnya.
Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai NasDem, Muhammad Farhan, mendesak pemenuhan alpalhankam dijaga agar tidak keluar dari koridor MEF 2024. "Jangan di luar koridor itu," kata Farhan kepada Republika, dikutip Senin (7/6).
Rencana pengadaan alutsista itu disebut-sebut akan dilakukan melalui skema pinjaman luar negeri ataupun kredit ekspor. Menurutnya hal tersebut sudah biasa dilakukan pemerintah.
"Skema pinjaman dalam negeri adalah sebuah skema pembiayaan yang jamak digunakan. Maka kebijakannya ada di Menkeu dan Bappenas," ungkapnya.
Sementara itu anggota Komisi I DPR Fraksi Partai NasDem lainnya, Hillary Brigita Lasut, mengungkapkan rata-rata usia alutsista yang dimiliki Indonesia berusia 25-40 tahun. Hal itu berpengaruh pada tingkat kesiapan operasional dan membutuhkan biaya operasional dan pemeliharaan yang tinggi.
"Namun di sisi lain tentu negara ini tidak dalam kondisi darurat militer justru saat ini negara sedang mengalami krisis dalam perspektif kesehatan dikarenakan pandemi Covid-19 yang sampai saat ini tak kunjung usai sehingga secara pribadi saya melihat bahwa kebutuhan pengadaan tersebut tidak terlalu menjadi prioritas kebutuhan negara saat ini," ujarnya, Ahad (6/6).
Ia meyakini, pemerintah dalam setiap kebijakan yang diambil sudah pasti melalui kajian akademis maupun politis yang baik maupun terukur. Namun di satu sisi, ia menilai pengadaan alutsista mempengaruhi langkah percepatan penyelesaian pandemi di dalam negeri.
"Di mana anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk perlengkapan medis, untuk memerangi pandemi saat ini justru malah kosentrasi harus terbagi dengan adanya kebijakan pemerintah dalam melakukan pengadaan alulsista," ucapnya.
Hillary menambahkan, apalagi dengan pembiayaan melalui skema utang dikhawatirkan akan menambah beban negara di kemudian hari. "Tentu secara realistis hal ini menjadi kekhawatiran mengingat dengan adanya wacana tersebut jika disetujui dan ditindak lanjut maka tentu akan menambah beban utang negara di kemudian hari," imbuhnya.