Kamis 03 Jun 2021 15:41 WIB

Utang Garuda yang Bertambah Rp 1 T Tiap Bulan

Lessor korup sampai pesawat yang terlalu banyak cuma sebagian masalah Garuda.

Kondisi keuangan PT Garuda Indonesia terus memburuk. Garuda Indonesia tercatat memiliki utang 4,9 miliar dolar AS atau setara Rp 70 triliun. Angka tersebut meningkat sekitar Rp 1 triliun setiap bulan karena terus menunda pembayaran kepada pemasok.
Foto: Antara
Kondisi keuangan PT Garuda Indonesia terus memburuk. Garuda Indonesia tercatat memiliki utang 4,9 miliar dolar AS atau setara Rp 70 triliun. Angka tersebut meningkat sekitar Rp 1 triliun setiap bulan karena terus menunda pembayaran kepada pemasok.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Nursyamsi, Rahayu Subekti, Antara

Buruknya kondisi keuangan PT Garuda Indonesia sudah terjadi sejak lama. Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo, menyebut persoalan memburuknya kondisi keuangan Garuda diakibatkan banyak faktor. Mulai dari tingginya biaya penyewaan pesawat dari perusahaan penyewa pesawat atau lessor, jenis pesawat yang terlalu banyak yaitu mulai dari Boeing 737-777, A320, A330, ATR, hingga Bombardier sehingga efisiensi menjadi bermasalah. Sampai ke faktor banyaknya rute yang diterbangi tapi tidak menguntungkan.

Baca Juga

Dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (3/6), Tiko sempat menyebut rute-rute penerbangan internasional yang selama dijalani Garuda terbukti memberikan dampak negatif bagi perusahaan. Tak heran, ucap Tiko, Menteri BUMN Erick Thohir meninta Garuda untuk fokus menggarap pasar domestik yang selama ini memberikan keuntungan.

"Sebelum Covid pada 2019, (penerbangan) dalam negeri itu untung tapi yang luar negeri rugi," ujar Tiko.

Tiko mengatakan Garuda kembali dihadapkan pada persoalan baru saat pandemi yakni adanya perubahan pengakuan kewajiban yang mana operational lease yang sebelumnya dicatat sebagai operating expenditure (opex) atau biaya operasional, kini dicatat sebagai utang. "Maka yang tadinya utang di kisaran Rp 20 triliun menjadi Rp 70 triliun yang secara PSAK (pernyataan standar akuntansi keuangan) diharuskan dicatat dalam kewajiban membuat posisi Garuda secara neraca itu insolvent karena antara utang dan ekuitas tidak memadai untuk mendukung neraca," ucap Tiko.

Oleh karena itu, lanjut Tiko, restrukturisasi harus mampu menurunkan utang Garuda sebesar 1 miliar dolar AS hingga 1,5 miliar dolar AS dari total utang yang sebesar 4,5 miliar dolar AS atau sekira Rp 70 triliun. "Secara sederhana kalau Ebitda Garuda 250 juta dolar AS, secara kondisi keuangan yang normal rasionya harus enam kali lipat menjadi jadi 1,5 miliar dolar AS, di atas itu Garuda tidak akan mampu going concern karena tidak akan mampu bayar utang-utangnya," ungkap Tiko.

Di hadapan anggota DPR, Menteri BUMN Erick Thohir menegaskan akan melakukan negosiasi keras terhadap lessor-lessor atau pemberi sewa ke Garuda Indonesia yang sudah masuk dan bekerja sama dalam kasus yang dibuktikan koruptif. Erick Thohir mengatakan sejak awal Kementerian BUMN meyakini salah satu masalah terbesar di Garuda Indonesia mengenai lessor.

Di Garuda ada 36 lessor yang memang harus dipetakan ulang, mana saja lessor yang sudah masuk kategori dan bekerja sama di kasus yang sudah dibuktikan koruptif. "Ini yang pasti kita bakal standstill, bahkan negosiasi keras dengan mereka," ujar Erick.

Namun ia juga mengakui bahwa ada lessor yang tidak ikut atau terlibat kasus yang terbukti koruptif. "Tetapi pada hari ini kemahalan mengingat kondisi sekarang, itu yang kita juga harus lakukan negosiasi ulang. Beban terberat saya rasa itu," kata Erick Thohir.

Manajemen Garuda, kata Erick, harus melakukan negoisasi keras dengan lessor yang bekerja sama dalam sejumlah kasus koruptif sebelumnya. Sementara untuk lessor yang tidak terkait dengan kasus, Erick mendorong manajemen untuk mengajukan negosiasi ulang.

Beban kedua terbesar Garuda, ucap Erick, ialah model bisnis. Erick meminta Garuda berani mengubah model bisnis pascapandemi dengan fokus menggarap pasar penerbangan domestik. Toh, kata Erick, selama ini 78 persen penumpang Garuda disumbang oleh pasar domestik, sementara 22 persen sisanya baru diisi penumpang penerbangan internasional.

"Kita negara kepulauan yang mestinya lebih baik domestik untuk (penerbangan) luar negeri cost sharing saja karena banyak negara harus ekspansi (penerbangan internasional) karena negara cuma satu pulau, kita tidak perlu seperti itu," ucap Erick.

Erick juga menyoroti kebijakan yang acapkali berubah dan tidak menguntungkan Garuda Indonesia. Oleh karena itu, Erick telah berbicara dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi terkait optimalisasi bandara dan rute penerbangan dalam negeri di Indonesia.

"Kita sudah banyak bicara dengan Menhub dan beliau mendukung bagaimana nanti bandara-bandara di Indonesia ya memang tidak semuanya bisa open sky untuk pesawat asing," ungkap Erick.

Terlebih, ucap Erick, di tengah kondisi pandemi saat ini yang sangat rawan apabila semua bandara dibuka untuk penerbangan internasional. Erick mencontohkan Amerika Serikat dan China yang hanya membuka beberapa bandara untuk penerbangan internasional, sementara untuk rute-rute domestik diharuskan menggunakan maskapai dalam negeri.

"Nanti dari bandara titik yang dibuka itu bisa menyebar ke banyak kota tapi untuk dalam domestik hanya Garuda atau penerbangan swasta (yang diperbolehkan)," kata Erick menambahkan.

Erick menegaskan pula mempertahankan ribuan karyawan Garuda Indonesia agar tetap berada di perusahaan maskapai pelat merah tersebut. Garuda Indonesia tercatat memiliki utang 4,9 miliar dolar AS atau setara Rp 70 triliun. Angka tersebut meningkat sekitar Rp 1 triliun setiap bulan karena terus menunda pembayaran kepada pemasok.

Perusahaan memiliki arus kas negatif dan utang minus Rp 41 triliun. Tumpukan utang tersebut disebabkan pendapatan perusahaan yang tidak bisa menutupi pengeluaran operasional.

Berdasarkan pendapatan Mei 2021 Garuda Indonesia hanya memperoleh sekitar 56 juta dolar AS dan pada saat bersamaan masih harus membayar sewa pesawat 56 juta dolar AS, perawatan pesawat 20 juta dolar AS, bahan bakar avtur 20 juta dolar AS, dan gaji pegawai 20 juta dolar AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement