REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri mengungkap kasus penipuan dengan modus obligasi asing. Dalam pengungkapan itu sebanyak dua orang berinisial AM dan JM ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan yang diduga obligasi China tersebut.
Menurut Dirtipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Helmy Santika, kasus tersebut bermula adanya laporan tiga orang korban berinisial M, W, dan RS. Kepada korban, tersangka menjanjikan akan memberi keuntungan atau investasi dalam bentuk obligasi dengan nama obligasi dragon. Praktik penipuan sudah dilakukan AM dan JM sejak tahun 2019 silam.
"Dari penyelidikan ini kita lakukan penagkapan kepada dua orang tersangka yaitu AM dan JM. Kedua orang ini ditangkap di lokasi yang berbeda. Yang satu ditangkap di Tegal (AM), kemudian yang satu di Cirebon Kota (JM)," ujar Helmy saat konferensi pers di Bareskrim Polri, Rabu (2/6).
Lanjut Helmy, tersangka AM dan JM merupakan satu jaringan, keduanya ditangkap di dua tempat berbeda. AM ditangkap di Cirebon dan JM di Tegal. Kepada polisi keduanya mengaku menjaring korban dengan cara mengiming-imingi keuntungan hingga Rp 100 milyar. Adapun tiga korban yang melakukan pelaporan mengalami kerugian hingga Rp 3 miliar
"Bahkan dari informasi yang ada kemungkinan dari korban-korban lain, kurang lebih kerugian mencapai Rp 36 miliar," tutur Helmy.
Kemudian penangkapan kedua pelaku, pihak polisi menyita beberapa barang bukti seperti kendaraan, surat utang atau obligasi, dan uang asing sejumlah negara dan rupiah yang diduga palsu. Di antaranya sebanyak 9.800 lembar pecahan 5.000 won Korea, 2.100 lembar pecahan 1 juta euro, 2.600 lembar pecahan 100 USD.
"Masih ada lagi mata uang lainnya, jadi ada banyak sekali. Kalau obligasi China-nya ada 100 lembar dengan pecahan Rp 1 triliun. Lalu pecahan 1.000 ada 200 lembar, pecahan Rp 1 juta ada 300 lembar, pecahan Rp 5000 ada 100 lembar. Pecahan Rp 1 juta triliun ada 2 ribu lembar," terang Helmy.
Kasubdit III Dittipideksus Bareskrim Polri Kombes Pol Jamaluddin menyampaikan, pekerjaan keduanya tidak jelas. Bahkan di tempat tinggalnya, pelaku A diketahui merupakan seorang dukun, karena di rumahnya ditemukan beberapa dupa dan alat-alat perdukunan. Sedangkan tersangka JM juga tidak memiliki pekerjaan dan bertugas untuk mencari korban yang akan melakukan investasi kepadanya.
"Mereka hanya bermodalkan rasa percaya korban dan iming-iming keuntungan yang ditawarkan. Dasarnya, mereka tidak tahu apa itu obligasi," ucap Jamaluddin.
Atas perbuatannya itu, kedua tersangka disangkakan pasal 372, 378 KUHP, dan pasal 345 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Keduanya juga disangkakan Pasal 36 dan 37 UU nomor 7 tahun 2017 tentang Mata Uang.