Kamis 27 May 2021 11:19 WIB

Pemecatan Pegawai KPK, Bentuk Pengabaian Perintah Presiden?

Presiden didesak kembali bersikap soal pemecatan 51 pegawai KPK.

Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) berfoto bersama usai audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta, Senin (24/5/2021). Sebanyak 51 dari 75 pegawai KPK yang tak lulus TWK dipecat. Keputusan tersebut keluar setelah pimpinan KPK bertemu lembaga-lembaga terkait.
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) berfoto bersama usai audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta, Senin (24/5/2021). Sebanyak 51 dari 75 pegawai KPK yang tak lulus TWK dipecat. Keputusan tersebut keluar setelah pimpinan KPK bertemu lembaga-lembaga terkait.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizkyan Adiyudha, Dian Fath Risalah, Nawir Arsyad Akbar, Dessy Suciati Saputri

Polemik pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat akibat tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) berlanjut dengan pemecatan 51 pegawai. Apakah telah terjadi pengabaian terhadap instruksi Presiden untuk tidak serta-merta memecat pegawai yang tak lolos TWK?

Baca Juga

Mantan ketua KPK, Bambang Widjojanto, pun meminta Presiden Joko Widodo bertanggung jawab atas nasib yang kini menimpa lembaga antirasuah tersebut. Dia mengatakan, upaya pemberantasan korupsi saat ini tengah mengalami kebangkrutan. "Jika Presiden tidak tegas mengambil upaya perlindungan hukum dan menyelesaikan secara tuntas problem di atas, Presiden Jokowi dapat dituding menjadi bagian tak terpisahkan dari pihak-pihak yang menghancurkan KPK," kata Bambang dalam keterangan, Kamis (27/5).

Dia melanjutkan, Presiden juga bisa dinilai ikut menyingkirkan pegawai terbaik KPK serta melegalisasi TWK. Dia mengatakan, presiden sebagai pejabat tertinggi aparatur sipil negara (ASN) harus mengambil tindakan terkait kondisi yang kini terjadi.

Dia menjelaskan, Presiden mempunyai otoritas mengambil alih persoalan TWK pegawai KPK sesuai Pasal 3 Ayat (7) PP 17 Tahun 2020 tentang Manajemen ASN. Untuk itu, dia menambahkan, Presiden diusulkan mendelegitimasi atau membatalkan keputusan ketua KPK yang didukung para pembantunya tersebut.

Bambang mengatakan, upaya pemberantasan korupsi tidak lagi sekadar mengalami penurunan. Namun, dia menambahkan, upaya perang terhadap kejahatan kemanusiaan itu tengah mengalami kebangkrutan akut karena "dipailitkan" bukan oleh rakyat sebagai pihak yang menjadi pemegang sahamnya.

"Aktor intelektual yang diduga menjadi eksekutor utama kebangkrutan dan kepailitan itu adalah kekuasaan, khususnya Ketua KPK beserta jajaran pimpinan," katanya.

Menurutnya, Ketua KPK Firli Bahuri dan pimpinan lembaga tinggi negara lain yang mendukungnya patut diduga telah berkolusi untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Hal itu dilakukan dengan cara melegalisasi hasil TWK yang kontroversial dan tidak akuntabel.

"Untuk itu, mereka harus dikualifikasi telah melakukan obstruction of justice karena dapat mengganggu dan menghalangi upaya pemberantasan korupsi," katanya.

Dia mengatakan, tindakan tersebut mempunyai indikasi kuat bukan hanya menantang pernyataan presiden, melainkan juga menista kepala negara. Dia melanjutkan, tindakan itu secara faktual juga dapat dinilai sebagai perbuatan kriminal karena melawan perintah atasan dari penegak hukum alias Presiden sesuai Pasal 160 KUHP.

Koalisi Masyarakat Sipil memandang Ketua KPK Firli Bahuri dan empat pimpinan lainnya jelas telah melawan perintah Presiden Joko Widodo yang akuntabel. Sebelumnya, Presiden telah menyatakan hasil TWK tidak serta-merta dapat digunakan untuk memberhentikan pegawai KPK.

Pernyataan Presiden tersebut harus menjadi pertimbangan utama setelah Revisi UU 30/2002 dengan UU 19/2019 karena KPK dimasukkan dalam rumpun eksekutif sehingga pengemban tanggung jawab tertinggi adalah Presiden. "Firli Bahuri dan pimpinan KPK lainnya jelas melakukan kejahatan konstitusional karena melakukan pembangkangan terhadap putusan MK. MK adalah penafsir Konstitusi sehingga jelas Firli Bahuri dengan keputusannya memberhentikan pegawai KPK, para pimpinan KPK telah melakukan tindakan inkonstitusional karena membangkang terhadap Undang-Undang Dasar 1945," ujar salah satu perwakilan Koalisi, M Isnur.

Tak hanya pembangkangan, Koalisi menilai adanya muslihat yang secara sistematis dilakukan menghancurkan lembaga KPK dan menyingkirkan 51 orang terbaiknya. Pada Selasa (25/5) kemarin, selain melakukan pengumuman rencana pemberhentian 51 pegawai KPK, Deputi Penindakan KPK, Karyoto, mengatakan akan meminta

penyidik dari instansi lain.

Bahkan, Deputi Penindakan Karyoto juga mengatakan, sebelum pemecatan sudah ada slot untuk penambahan penyidik. Kebutuhan penambahan penyidik ini sangat kontradiktif dengan rencana pemberhentian 51 pegawai KPK dengan alasan TWK tersebut sehingga sulit melihat logika yang jelas dari rentetan pernyataan ini.

"Fakta di atas juga menunjukkan ada muslihat yang secara sistematis dilakukan untuk menghancurkan lembaga KPK dan menyingkirkan 51 orang terbaiknya. Inilah sesungguhnya motif dari Firli Bahuri dkk, yaitu melakukan pembusukan dan

pelemahan KPK," ujar Isnur menegaskan.

Rangkaian tindakan pelemahan KPK dinilai sudah dimulai dari penghilangan independensi lembaga, meruntuhkan wibawa dan kehormatan KPK dan menyingkirkan, setidaknya 51 pegawai KPK. Koalisi memandang, seluruh perilaku absurd, naif, dan melawan hukum serta aktivasi dan silat lidah yang dipertontonkan ke publik tidak hanya menista akal sehat, tapi juga menghina nurani dan mendekonstruksi semangat pemberantasan korupsi.

Berdasarkan argumen tersebut, Koalisi meminta Presiden RI Joko Widodo agar seluruh kebangkrutan pemberantasan korupsi tidak menjadi warisannya, yaitu dengan cara menarik kembali delegasi wewenang pimpinan KPK mengenal peralihan status ASN karena telah nyata adanya pelanggaran sistem merit dan menjaga efektivitas penyelenggaran pemberantasan korupsi sesuai PP 17/2020 Manajemen ASN Pasal 3 Ayat (7). Dengan kata lain, Presiden menyatakan pemberhentian tidak sah dan alih status ASN berjalan secara otomatis dan administratif sesuai putusan MK.

"Jika tidak, kehancuran pemberantasan korupsi akan segera terjadi dan sejarah akan mencatat kejadian dimaksud terjadi pada era kepemimpinannya ketika menjadi presiden RI. Tes wawasan kebangsaan, alih-alih memastikan alih fungsi pegawai KPK menjadi individu berintegritas dalam menjalankan perannya, malah menjadi legalisasi kezaliman bagi sekelompok individu, " kata Isnur menegaskan.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, mengatakan pemecatan 51 pegawai KPK membuat imbauan Presiden Jokowi terkait polemik tersebut basa-basi semata. "Saya rasa imbauan Presiden soal 75 pegawai KPK yang gagal TWK itu hanya basa basi, lip service," ujar Benny kepada wartawan.

Menurutnya, Jokowi perlu membuktikan dia memang memperkuat KPK, bukan melemahkannya. Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) yang menjadi dasar pemecatan.

"Presiden harus menerbitkan perppu untuk mengubah pasal UU yeng menjadi dasar yuridis Ketua KPK memecat 51 pegawainya," ujar Benny.

Di samping itu, Ketua KPK Firli Bahuri juga perlu membuktikan bahwa kepemimpinannya tak melemahkan lembaga antirasuah itu. Salah satunya dengan segera memeriksa dan menahan sejumlah tokoh yang sudah ketahuan terlibat dalam kasus korupsi.

"Kita menunggu langkah Presiden dan langkah Ketua KPK selanjutnya untuk membuktikan dugaan itu (pelemahan) tidak benar. Saya berharap dugaan itu tidak benar," ujar Wakil Ketua Umum Partai Demokrat itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement