REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dituntut kurungan 10 bulan, terdakwa kasus kerumunan di Petamburan dan Megamendung, Habib Rizieq Shihab (HRS) menyampaikan nota pembelaanya atau pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (20/5). Dalam pleidoinya, HRS meminta agar proses hukum atas dirinya dihentikan.
"Kami meminta dari sanubari yang paling dalam agar dalam mengambil keputusan dengan keyakinan untuk menghentikan proses hukum
yang zalim terhadap saya dan kawan-kawan, demi terpenuhi rasa keadilan sekaligus menyelamatkan tatanan hukum dan sendi keadilan di Tanah Air yang sedang dirongrong oleh kekuatan jahat yang antiagama dan anti-Pancasila serta membahayakan keutuhan Persatuan dan Kesatuan NKRI," ujar HRS saat membacakan nota pembelaannya.
"Karenanya, kami memohon karena Allah SWT demi tegaknya Keadilan agar Majelis Hakim yang mulia memutuskan vonis bebas murni
dibebaskan dari segala tuntutan, dilepaskan dari penjara tanpa syarat
dikembalikan nama baik, martabat dan kehormatan," kata HRS, menambahkan.
Dalam pleidoinya, HRS mengatakan, seluruh unsur pasal yang didakwakan kepadanya dalam perkara kerumunan Megamendung tidak terpenuhi. Misalnya, Pasal 93 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurut HRS, pasal ini tidak bisa dan tidak boleh diterapkan untuk kasus kerumunan Maulid Nabi SAW di Petamburan. Karena ia
dan panitia tidak pernah menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, bahkan sudah berusaha keras mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dengan mengimbau peserta Maulid untuk patuhi prokes sebelum mau pun saat pelaksanaan Maulid.
Panitia pun, kata HRS, dan sudah menyediakan masker, hand sanitizer, tempat cuci tangan dan bilik disinfektan, serta juga menyiapkan petugas untuk mengatur dan menjaga jarak peserta Maulid. Sehingga unsur tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan tidak terpenuhi.
"Tak satu pun unsur dalam Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan yang terpenuhi, sehingga harus dibatalkan demi hukum, apalagi sudah bayar Denda sebesar Rp 50 juta," tegas HRS.
HRS juga membantah dirinya mengundang masyarakat untuk berkerumun di Megamendung sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM). Hingga saat ini juga tidak ada penyelidikan epidemiologi dan peraturan pemerintah yang menetapkan bahwa kerumunan Megamendung adalah penyebab KKM.
HRS juga menolak bila dirinya dijerat pasal 216 ayat 1 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ia mengatakan, ia dan panitia sejak sebelum dan saat serta sesudah pelaksanaan acara Maulid Nabi SAW di Petamburan sangat kooperatif dengan semua pejabat dan petugas. Bahkan, pemerintah ikut menyumbang ribuan masker untuk peserta Maulid dan masker tersebut dibagikan oleh HRS dan Panitia kepada peserta Maulid. Sehingga, semua unsur Pasal 216 ayat (1) KUHP tersebut, seperti unsur tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat dan unsur mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat sama sekali tidak terpenuhi.
HRS mengutip keterangan ahli teori pidana DR Abdul Choir Ramadhan bahwa Pasal 216 ayat (1) KUHP tidak ada relevansinya dengan penyelengaraan PSBB dan prokes. Karena, tidak ada perbuatan pidana dalam PSBB dan prokes, sehingga penerapan pasal tersebut tidak tepat.
HRS dalam perkara ini menjadi terdakwa dalam kasus kerumunan di Petamburan dengan nomor perkara 221. Sementara lima terdakwa lain untuk kasus serupa, yaitu Haris Ubaidillah, Ahmad Sabri Lubis, Ali Alwi Alatas, Idrus Al Habsyi, dan Maman Suryadi terdaftar di berkas perkara nomor 222.
HRS juga menjadi terdakwa tunggal untuk kasus kerumunan di Megamendung saat acara peletakan batu pertama pembangunan Pondok Pesantren Agrikultural Markaz Syariah pada 13 November 2020 lalu dengan nomor perkara 226.