Selasa 18 May 2021 13:47 WIB

Menanti Win-Win Solution Bagi 75 Pegawai KPK

Pegawai KPK yang berprestasi harus didorong tetap dipertahankan.

Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengenakan topeng berwajah Ketua KPK Firli Bahuri saat aksi unjuk rasa di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (7/5/2021). Presiden Joko Widodo sudah mendesak pimpinan KPK mencari solusi bagi 75 pegawai yang tidak lolos tes pengalihan status sebagai ASN.
Foto:

Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengungkapkan beberapa fakta terkait tidak lolosnya tes pengalihan status sebagai ASN oleh 75 pegawai KPK. Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, Kurnia Ramadhana, Selasa (18/5), mengatakan puluhan pegawai tersebut pernah beririsan dengan Ketua KPK, Firli Bahuri.

"(Mereka) pernah memeriksa pelanggaran etik Firli Bahuri tatkala yang bersangkutan diketahui bertemu dan menjalin komunikasi dengan seorang kepala daerah di Nusa Tenggara Barat," kata Kurnia Ramadhana, dalam keterangan.

Dia melanjutkan, para pegawai TMS berdasarkan tes wawasan kebangsaan (TWK) itu juga pernah menandatangani petisi menolak Firli Bahuri menjadi Ketua KPK. Dia menjelaskan, penolakan dilakukan karena sejumlah hal atau memiliki rekam jejak bermasalah.

Kurnia mengatakan, di antara puluhan pegawai itu pernah melakukan advokasi saat proses pemilihan Pimpinan KPK. Dia menjelaskan, saat itu sejumlah pegawai mendesak agar pansel pimpinan KPK tidak meloloskan capim yang tidak taat melaporkan LHKPN dan sempat melanggar kode etik.

"Mereka juga pernah melakukan aksi damai menolak calon pimpinan pelanggar etik," kata Kurnia lagi.

Dia mengatakan, narasi itu jelas memperlihatkan bahwa TWK hanya dijadikan dalih untuk menutupi motivasi kepentingan pribadi Firli Bahuri. Koalisi sipil mendesak Dewan Pengawas (Dewas) KPK segera mengambil langkah konkret dengan memanggil, memeriksa dan menjatuhkan pelanggaran etik berat kepada Firli Bahuri.

"Seluruh pimpinan KPK mematuhi perintah Presiden Joko Widodo dengan menganulir keputusan memberhentikan 75 pegawai KPK," katanya.

Seperti diketahui, TWK pegawai KPK menuai polemik lantaran membuat soal yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pemberantasan korupsi. Diantara pertanyaan yang muncul yakni pandangan pegawai seputar FPI, Muhammad Rizieq Shihab, HTI, alasan belum menikah, kesediaan menjadi istri kedua, doa qunut dalam sholat hingga LGBT.

TWK yang diikuti 1.351 pegawai KPK itu sukses menyingkirkan 75 pegawai berintegritas semisal penyidik senior, Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono dan Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid. Mereka dinyatakan TMS berdasarkan tes tersebut.

KPK kemudian menerbitkan Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan. Surat tertanda Ketua KPK Firli Bahuri dan salinannya ditandatangani Plh Kepala Biro SDM Yonathan Demme Tangdilintin itu memerintahkan pegawai yang tidak lolos untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab mereka kepada atasan langsung.

Belakangan, Presiden Joko Widodo menegaskan agar TWK tidak boleh serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai KPK yang dinyatakan TMS. Dia mengatakan, KPK harus memiliki SDM terbaik dan berkomitmen tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi.

Mantan Wali Kota Solo ini melanjutkan, pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN harus menjadi bagian dari upaya untuk pemberantasan korupsi yang lebih sistematis. Jokowi berpendapat bahwa hasil TWK seharusnya menjadi masukan untuk langkah perbaikan KPK.

"Hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK, baik terhadap individu-individu maupun institusi KPK, dan tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes," kata Jokowi.

Direktur Eksekutif Voxpol Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menganggap pernyataan Presiden Jokowi sudah menyerap aspirasi masyarakat. Pangi menilai pernyataan Jokowi mestinya mempengaruhi pimpinan KPK saat mengambil kebijakan mengenai nasib pegawai tak lolos TWK. Ia tak ingin para pegawai yang terkenal berintegritas justru dipecat dari KPK.

"Jelas sikap Presiden dibutuhkan agar KPK bisa lebih bijak terkait dengan dasar pemberhentian 75 pegawainya yang tak lolos TWK," kata Pangi kepada wartawan, Selasa (18/5).

Menurut Pangi, pernyataan Jokowi yang meminta TWK tak menjadi standar pemberhentian pegawai sudah tepat guna menuntaskan polemik di KPK. Pasalnya, kebijakan tersebut menjadi sasaran kritik masyarakat selama ini.

"Pesan Presiden jangan sampai pemberhentian hanya berdasarkan TWK. Tidak bisa hanya alasan itu saja yang digunakan untuk pemberhentian pegawai, mesti ada pertimbangan lain," ujar Pangi.

Pangi menyebut publik sudah menantikan sikap Presiden Jokowi itu guna menyudahi polemik yang ditimbulkan TWK. "Apa yang disampaikan Presiden ini yang sebenarnya ditunggu publik, statement Presiden saya pikir sudah tepat," lanjut Pangi.

Pangi menduga sikap Presiden Jokowi terkait TWK akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Menurutnya, Jokowi bisa saja dipercaya lagi sebagai pemimpin negara yang mendukung upaya pemberantasan korupsi.

"Presiden telah mengambil sikap yang tepat. Sehingga trust pemerintah Jokowi terhadap agenda pemberantasan korupsi bisa menjadi jelas," ucap Pangi.

Pangi mengkhawatirkan kalau Presiden Jokowi terus mengabaikan polemik TWK. Kondisi tersebut malah makin meningkatkan anggapan pemerintahan Jokowi kian melemahkan KPK.

"Kalau Presiden diam maka stigma bahwa seolah-olah Presiden tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi dan memperlemah KPK kian menjadi fakta," pungkas Pangi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement