Senin 17 May 2021 16:03 WIB

Soal TWK KPK, Pengamat: Presiden Harus Turun Tangan

Tindakan ketua KPK itu sendiri benar-benar melanggar UU Administrasi Pemerintahan.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Agus Yulianto
Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Presiden Joko Widodo (Jokowi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap tidak memenuhi syrat (TMS) dalam tes wawasan kebangsaan (TWK), menyebabkan Presiden Joko Widodo diminta segera turun untuk meyelesaikan. Apalai, dalam Undang-Undang KPK, UU Nomor 19 Tahun 2019 dan PP No. 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diterbitkan oleh presiden tidak terdapat proses pengujian terhadap pegawai untuk menjadi ASN.

“Jadi, dalam arti sederhana, memang ini alih status yang otomatis menjadikan pegawai KPK menjadi ASN sepanjang tidak melanggar ketentuan perundang-undangan mengenai syarat-syarat menjadi ASN,” kata Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, kepada Republika.co.id, Senin (17/5).

Dia menambahkan, dalam ketentuan tersebut bisa dilihat jika pegawai KPK tidak menyetujui menjadi ASN, maka dia akan langsung menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Sehingga, tidak ada alasan untuk menonaktifkan pegawai dengan dalih tidak lolos dalam TWK. Menurut dia, hal tersebut sudah melanggar nilai-nilai konstitusi dan wawasan kebangsaan. “Tindakan ketua KPK itu sendiri benar-benar melanggar UU Administrasi Pemerintahan. Di sini, presiden sangat bisa melakukan sesuatu secara undang-undang,” ujar dia.

Sebab, untuk menjadi ASN, kementerian yang memimpin penentuan, yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Kemenpan RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) keduanya berada di bawah kendali presiden.

Sementara itu, Pengamat Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Suparji Ahmad menilai, presiden perlu menyelesaikan hal ini agar tidak berlaru-larut. Karena sampai sekarang, kata dia, masih ada ketidakpastian alasan 75 pegawai tidak lolos dari TWK.

“Dalam hal ini saya kira presiden perlu segera menindaklanjuti permintaan sebagian besar publik agar ini selesai dan pedoman untuk menyelesaikan kembali pada aturan yang berlaku sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan,” kata dia.

Selain itu, perlu juga dijelaskan terkait makna peralihan status yang dimaksud agar tidak menimbulkan multitafsir. Suparji mengatakan, jika dilihat secara pemahaman gramatikal, peralihan status adalah yang belum ASN menjadi ASN. Artinya, ini tidak beralih ke status tidak menjadi pegawai KPK.

Di sinilah penyusun undang-undang harus memberikan penjelasan meskipun seharusnya sudah ada penjelasan dari MK bahwa peralihan status tidak merugikan pegawai KPK. Ini berarti tidak boleh ada yang gagal menjadi ASN. Kalau gagal berarti dirugikan. 

"Itu yang simpang siur. Presiden perlu memberikan penjelasan atau memberikan pendapat kepada pimpinan KPK,” ujar dia.

Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Pangeran Khairul Saleh berharap, agar para pegawai yang tidak lulus ini tidak diberhentikan. “Masalah ini bisa menggunakan win win solution dan pertimbangan agar bisa diprioritaskan menjadi P3K,” kata Pangeran.

Jadi, mereka yang memiliki intergritas dan reputasi baik dapat meneruskan pengabdiannya dan membantu KPK untuk membrantas korupsi di Indonesia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement