REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat adanya belasan kali gempa susulan setelah gempa bermagnitudo 6,7 (setelah pemutakhiran) yang mengguncang Nias Barat, Sumatra Utara, hari ini.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, gempa bumi yang terjadi pada pukul 13.33 WIB, Jumat (14/5), itu berepisenter di laut pada koordinat 0,2 LU dan 96,69 BT dengan jarak 125 km arah barat daya Lahomi, Nias Barat. Gempa ini pun memiliki kedalaman 10 km.
“Hingga pukul 16.18 WIB sore ini, hasil monitoring BMKG menunjukkan telah terjadi aktivitas gempa susulan (aftershock) sebanyak 13 kali,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Jumat (14/5).
Berdasarkan pantauan BMKG, lanjut dia, guncangan gempa ini dirasakan di Gunung Sitoli Nias (III-IV MMI), Banda Aceh (III MMI), Aek Godang, dan Aceh Tengah (II MMI). Hingga kini, belum ada laporan dampak kerusakan dari masing-masing lokasi. Ia menambahkan, gempa dengan kekuatan magnitudo 6,7 ini tidak berpotensi tsunami, berdasarkan hasil pemodelan.
"Dengan magnitudo 6,7 belum cukup kuat untuk menimbulkan deformasi dasar laut hingga mengganggu kolom air laut," ujarnya, "Gempa yang terjadi bukan gempa megathrust, tetapi jenis gempa dangkal di zona outer-rise yaitu zona sumber gempa di luar zona subduksi (megathrust)."
Menurut Daryono, ada beberapa fakta dari fenomena gempa tersebut.
- Episenter gempa baratdaya Nias ini di peta tampak berada di luar zona subduksi. Inilah yang menjadi ciri sumber gempa outer rise. Gaya tektonik yang bekerja di zona ini bukan kompresional atau menekan, tapi gaya ektensional atau tarikan karena merupakan zona bending (regangan).
- Gempa ini hasil analisis BMKG memiliki mekanisme sesar turun (normal fault) yang menguatkan bahwa gempa ini bersumber di zona deformasi akibat terbangunnya gaya tarikan atau regangan.
- Gempa yang bersumber di zona outer rise tidak boleh diabaikan karena di Indonesia sudah 2 kali terjadi tsunami akibat gempa yang bersumber di zona outer rise, yaitu Tsunami destruktif di Sumbawa 1977 dan Tsunami Jawa 1921. Sumber gempa outer rise ini pernah memicu Tsunami Lunyuk, Sumbawa, pada 19 Agustus 1977. Saat itu gempa dahsyat magnitudo 8,3 yang oleh para ahli gempa populer disebut sebagai "The Great Sumba" telah memicu terbentuknya patahan dasar laut dengan mekanisme turun. Patahan dasar laut dengan mekanisme turun itu memicu terjadinya tsunami setinggi sekitar 8 meter dan menewaskan lebih dari 300 orang.
- Di luar negeri, zona sumber gempa outer rise juga pernah memicu tsunami mematikan. Peristiwa Tsunami Sanriku di Jepang tahun 1933 dipicu oleh gempa berkekuatan 8,6 yang bersumber di zona outer rise. Tsunami ini menewaskan lebih dari 3.000 orang. Selanjutnya adalah peristiwa tsunami Samoa di Pasifik yang terjadi pada 29 September 2009. Gempa kuat dengan magnitudo 8,1 di zona outer rise dekat subduksi Tonga juga memicu tsunami dahsyat yang menewaskan 189 orang.
- Outer rise merupakan zona gempa yang selama ini terabaikan, karena memang lebih populer zona sumber gempa megathrust. Meskipun terabaikan, tetapi tidak kalah berbahaya dan dapat memicu terjadinya tsunami. Catatan tsunami yang bersumber di luar zona subduksi di atas kiranya cukup untuk dijadikan pelajaran untuk kita semua bahwa zona outer rise (termasuk) di wilayah Indonesia merupakan zona gempa pemicu tsunami yang patut diwaspadai dan tidak boleh diabaikan.