Selasa 11 May 2021 21:28 WIB

Gender dan Kriminalitas dalam Kasus Sate dan Kopi Sianida

Apakah vonis mati merupakan jawaban atas rasa keadilan baik bagi korban maupun pelaku

Sate sianida (ilustrasi)
Foto:

Oleh : Dian Andriasari, Dosen Fakultas Hukum Unisba, Ph.D Candidate UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Budaya Kekerasan

Berbagai nilai kultural dan sub kultural serta sikap terhadap kejahatan berdampak pada relatif seringnya kejahatan kekerasan terjadi dan prevalensinya di berbagai negara, kawasan perkotaan/pedesaan, kelas sosial, ras dan kelompok etnis, usia dan jenis kelamin. Pada dasarnya semua budaya memiliki kecenderungan pada penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan kekecewaan. Karena tidak adanya jaminan penegakan hukum yang dapat dipercaya dan menjamin rasa keadilan.

Berabad yang lalu, seperti di Sarnida dan Sisilia dicirikan oleh Vandetta, yang menghendaki pembalasan personal bagi kesalahan seseorang atau kerabatnya. Dalam beberapa kasus, seluruh keluarga saling membunuh, merespons semacam kebutuhan untuk membalas kerugian yang sudah lalu pada kerabat.

Terdapat banyak teori biologis dan psikologis untuk menjelaskan kasus pembunuhan bermotif dendam pribadi atau dendam asmara yang memiliki kekuatan eksplanatoris. Menurut Charles Manson misalnya, bahwa kepribadian antisosial, merupakan faktor yang paling dominan yang memengaruhi pelaku. Di samping itu pada kasus-kasus pembunuhan semacam ini memperlihatkan kelemahan biologis dan atau psikologis serupa.

Vonis mati?

Memperhatikan mayoritas pelaku dalam kasus-kasus semacam ini yang bukan penjahat karir, tetapi mencerminkan reaksi situasional atau subkultural terhadap perselisihan antarpersonal. Membuat nurani publik bertanya, apakah vonis mati merupakan jawaban atas rasa keadilan baik bagi korban maupun pelaku.

Apakah konstruksi pembunuhan berencana sudah tepat dialamatkan pada pelaku NAN, mengingat tidak ada niat (voornemen) sebagai salah satu unsur penting dalam tindak pidana. Pelaku jelas tidak memiliki niat i untuk menghilangkan nyawa anak pengemudi ojol, serta tidak adanya hubungan sebab akibat yang pasti dalam peristiwa ini.

Sejak awal sate sianida tersebut ditujukan secara sengaja untuk setidaknya memberikan rasa kepuasan bagi pelaku sebagai “pelajaran” pada T, dan T tidak mati. Sehingga belum ada pembunuhan berencana yang dimaksud.

Akan tetapi dengan menggunakan teori kesengajaan dengan sadar kemungkinan, memang pelaku tidak mungkin akan lolos begitu saja dari delik penghilangan nyawa orang, akan tetapi unsur berencana nampaknya akan sulit untuk dibuktikan oleh JPU dalam persidangan. Sementara terang kasus ini masih menunggu bukti lain dan misteri motif pelaku yang sebenarnya, serta aktor lain sebagai pembantu kejahatan atau juga sebagai intelektual dader yang sebenarnya, yang bisa saja menggerakan, menginisiasi pelaku baik secara langsung maupun tidak untuk mewujudkan akibat yang diinginkan.

Terlepas dari anasir-anasir hukum pidana dalam mengkontstruksi perisiwa tersebut, vonis mati hingga saat ini mengandung problem konseptual dan praktikal. Sehingga eksistensinya sepatutnya ditinjau ulang oleh para pembentuk undang-undang.

Bukankah reaksi masyarakat jauh lebih kuat memuat stigma penjahat dan sederet sanksi sosial yang menunggu pelaku, tanpa bermaksud menggunakan tesis yang bias gender, pelaku NAN sebagai perempuan juga mendaptkan layer viktimiasasi yang cukup berat, karena strata kesusilaannya kemudian dipertanyakan dan di sangsikan oleh khalayak. Ada benarnya, meminjam tesis  seorang begawan hukum pidana yang mengatakan jangan pernah menilai ketika seseorang di vonis ringan oleh hakim maka ringanlah beban hidupnya, mengingat sebenarnya ia telah dihukum sepanjang hayatnya dalam ingatan masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement