Novel juga menilai TWK sangatkah tidak cocok digunakan untuk menyeleksi pegawai negara atau aparatur yang telah bekerja lama. Terutama, bagi yang bertugas dalam bidang pengawasan terhadap aparatur atau penegak hukum, apalagi terhadap pegawai KPK.
Menurut Novel, pegawai-pegawai KPK tersebut telah menunjukkan kesungguhannya dalam bekerja menangani kasus-kasus korupsi besar yang menggerogoti negara, baik keuangan negara, kekayaan negara, maupun hak masyarakat. Novel melanjutkan, TWK baru akan relevan bila digunakan untuk seleksi calon pegawai dari sumber lulusan baru.
"Tetapi, juga tidak dibenarkan menggunakan pertanyaan yang menyerang privasi, kehormatan, atau kebebasan beragama," ucap Novel.
Menurut Novel, tidak lulusnya 75 pegawai KPK yang kritis adalah kesimpulan yang sembrono dan sulit untuk dipahami sebagai kepentingan negara. Novel pun menegaskan bahwa tes TWK bukan seperti tes masuk seleksi tertentu yang bisa dipandang sebagai standar baku.
"Sekali lagi, penjelasan ini bukan karena lulus atau tidak lulus TWK, tetapi penggunaan TWK yang tidak tepat. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu merugikan kepentingan bangsa dan negara, dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia karena dimanfaatkan untuk menyingkirkan pegawai-pegawai terbaik KPK yang bekerja dengan menjaga integritas," kata Novel menegaskan.