REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan menjadi salah satu pegawai yang tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat menjadi aparatur sipil negara (ASN). Kasatgas Perkara KTP-elektronik itu menyebut TWK sangatlah bermasalah dan menjadi tameng untuk menyingkirkan 75 pegawai terbaik KPK, termasuk dirinya.
Sebab, Novel mengatakan, TWK digunakan untuk menyeleksi pegawai KPK yang telah berbuat nyata bagi bangsa dan negara Indonesia melawan musuh negara yang bernama korupsi. "Jadi, penjelasan yang akan saya sampaikan ini bukan hanya soal lulus atau tidak lulus tes, tapi memang penggunaan TWK untuk menyeleksi pegawai KPK adalah tindakan yang keliru," kata Novel dalam keterangannya, Selasa (11/5).
Karena, kata Novel, seharusnya pemberantasan korupsi tidak bisa dipisahkan dengan nasionalisme atau nilai kebangsaan pegawai KPK. Hal ini karena sikap antikorupsi pada dasarnya adalah perjuangan membela kepentingan negara.
"Saya ingin menggambarkan posisi pemberantasan korupsi dalam bernegara. Terbentuknya negara, tentu ada tujuan yang itu dituangkan dalam konstitusi. Untuk mencapai tujuan tersebut, negara membentuk pemerintahan dan aparatur. Dalam pelaksanaan tugas, ketika aparatur berbuat untuk kepentingan sendiri atau kelompok dan mengkhianati tujuan negara, itulah korupsi. Untuk kepentingan tersebut, negara atau pemerintah membentuk UU yang mengatur bentuk-bentuk kejahatan korupsi," ujarnya menjelaskan.